SEJARAH PENOLAKAN DAN PENDAPAT TOKOH BARAT TERHADAP METODE HAFALAN DALAM SISTEM PENDIDIKAN

Oleh: Salahuddin (Guru MAN 1 HSS)

A.     Menelusuri Fakta Sejarah Munculnya Penolakan Terhadap Metode Hafalan Dalam Sistem Pendidikan

Penolakan terhadap metode hapalan dalam sistem pendidikan telah ada sejak lama dan merupakan perdebatan yang kompleks. Ini bukanlah fenomena baru, tetapi telah berkembang seiring dengan perkembangan pendidikan di berbagai budaya dan zaman. Berikut adalah beberapa poin penting dalam sejarah munculnya penolakan terhadap metode hapalan dalam sistem pendidikan:

1.      Filosofi Pendidikan Yunani Kuno: Pendidikan di Yunani kuno, khususnya pada zaman Sokrates, Plato, dan Aristoteles, menekankan pemahaman konsep daripada sekadar menghafalkan informasi. Mereka memandang bahwa pendidikan harus mempromosikan pemikiran kritis, dialog, dan pemahaman mendalam terhadap materi pelajaran.

2.      Pendidikan Renaissance: Selama periode Renaissance di Eropa (abad ke-14 hingga ke-17), pendidikan lebih fokus pada pengembangan kreativitas, penelitian, dan pemahaman. Pemikir seperti Erasmus dan Montaigne menentang pendekatan pendidikan yang hanya mengajarkan hafalan teks klasik.

3.      Pendidikan Progresif: Gerakan pendidikan progresif yang dimulai pada awal abad ke-20 oleh tokoh-tokoh seperti John Dewey mengedepankan pemahaman konsep dan pembelajaran yang aktif. Mereka menentang pendekatan tradisional yang hanya mengharuskan siswa menghafal fakta tanpa pemahaman yang mendalam.

4.      Pendekatan Konstruktivisme: Teori konstruktivisme dalam pendidikan, yang dikembangkan oleh Jean Piaget dan Lev Vygotsky, menekankan pentingnya pembelajaran yang berasal dari pemahaman sendiri melalui interaksi dengan materi pelajaran, bukan sekadar hapalan.

5.      Revolusi Pendidikan Digital: Berkembangnya teknologi digital telah mengubah cara kita mengakses dan memproses informasi. Ini telah mendorong pendekatan pendidikan yang lebih berfokus pada pemahaman dan aplikasi konsep daripada sekadar menghafal.

6.      Gerakan Pendidikan Berbasis Kompetensi: Beberapa sistem pendidikan modern telah beralih ke pendekatan berbasis kompetensi, di mana siswa diukur berdasarkan kemampuan mereka untuk menerapkan pengetahuan dalam situasi dunia nyata daripada sekadar menghafal fakta.

7.      Kritik terhadap Overemphasizing Ujian: Penolakan terhadap metode hapalan juga sering dikaitkan dengan kritik terhadap sistem ujian yang berfokus pada hafalan daripada pemahaman konsep.

Dalam berbagai budaya dan periode sejarah, penolakan terhadap metode hapalan muncul karena keinginan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, pemahaman mendalam, dan kreativitas dalam pendidikan. Meskipun demikian, perdebatan ini juga melibatkan sejumlah sudut pandang yang berbeda, dan ada yang berpendapat bahwa metode hapalan masih memiliki peran penting dalam pendidikan untuk mengingat dan memahami fakta-fakta dasar.[1]

 

B.     Pendapat Para Tokoh Pendidikan Barat Berkenaan Dengan Metode Hapalan Dalam Sistem Pendidikan

Beberapa tokoh terkenal dari Barat telah menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap metode hapalan dalam sistem pendidikan. Berikut ini adalah beberapa di antara mereka:

1.      John Dewey: John Dewey adalah seorang filosof pendidikan Amerika yang sangat berpengaruh. Ia menentang pendekatan pendidikan yang terlalu berfokus pada penghafalan dan lebih menekankan pentingnya pembelajaran berbasis pengalaman. Dewey berpendapat bahwa pendidikan harus mempromosikan pemikiran kritis dan pemecahan masalah. Belajar aktif merupakan perkembangan teori Dewey By Doing (1859-1952). Dewey tidak setuju dengan rote learning “belajar dengan menghafal”. Dewey merupakan pendiri Dewey sehool yang menerapkan prinsip-prinsip “learning by doing” , yaitu siswa perlu terlibat dalam proses belajar secara spontan. Dari rasa keingintahuan siswa dari hal-hal yang belum diketahuinnya mendorong keterlibatannya secara aktif dalam suatu proses belajar.[2]

 

2.      Jean Piaget: Jean Piaget, seorang psikolog perkembangan Swiss yang banyak berkontribusi pada pemahaman tentang bagaimana anak-anak belajar, menentang metode hapalan dalam pendidikan. Ia percaya bahwa anak-anak harus aktif dalam membangun pengetahuan mereka sendiri melalui eksplorasi dan eksperimen. Menurut Jean Piaget, belajar lebih dari sekedar mengingat. Bagi siswa, untuk benar-benar mengerti dan dapat menerapkan ilmu pengetahuan, mereka harus bekerja untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu bagi dirinya sendiri, dan selalu bergulat dengan ide-ide.[3]

 

3.      Maria Montessori: Maria Montessori, seorang dokter Italia yang mengembangkan metode pendidikan Montessori, juga menentang metode hapalan. Metodenya menekankan pembelajaran melalui tangan-on, pemahaman konsep, dan pengembangan keterampilan praktis, bukan sekadar menghafal fakta. Konsep pendidik dalam teori pendidikan Maria Montessori dengan konsep pendidikan pada sekolah tradisional memiliki sebuah perbedaan yang sangat menonjol. Dalam sekolah tradisional, pendidik menguasai kelas dan menjadikan ia sebagai sorotan utama di dalam sebuah ruang kelas sehingga fokus anak hanya tertuju pada pendidik. Hal ini sangat berbeda dengan konsep pendidik yang Maria Montessori sampaikan. Ia mengubah pandangan lama tersebut dan menyebut seorang pendidik dengan sebutan ―kepala sekolah perempuan‖ yang memiliki tugas untuk mendampingi proses belajar anak dan membimbing anak dalam kegiatan belajar mereka selama didalam kelas tersebut.[4]

 

4.      Howard Gardner: Howard Gardner, seorang psikolog perkembangan Amerika, dikenal karena teorinya tentang kecerdasan majemuk. Gardner menentang penilaian pendidikan yang terlalu berfokus pada penghafalan dan menganggap bahwa setiap individu memiliki berbagai jenis kecerdasan yang perlu dihargai dan dikembangkan. Kecerdasan majemuk adalah istilah yang digunakan oleh Howard Gardner untuk menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia itu memiliki banyak kecerdasan, tidak hanya sebatas IQ seperti yang dikenal selama ini. Menurut Gardner, sedikitnya ada sembilan kecerdasan yang dimiliki oleh manusia yaitu kecerdasan linguistik, matematis-logis, ruang-visual (spasial), kinestetik-badani, musikal, interpersonal, dan intrapersonal,  naturalis dan kecerdasan eksistensial.[5]

 

5.      Alfie Kohn: Alfie Kohn adalah seorang penulis dan kritikus pendidikan Amerika yang terkenal karena pandangannya yang kritis terhadap pendidikan tradisional. Ia berpendapat bahwa metode hapalan dapat merusak motivasi intrinsik siswa dan lebih suka pendekatan yang lebih berpusat pada pemahaman dan minat individu.

Intrinsic motivation: When considering (or reconsidering) educational policies and practices, the first question that progressive educators are likely to ask is, “What’s the effect on students’ interest in learning, their desire to continue reading, thinking, and questioning?” This deceptively simple test helps to determine what students will and won’t be asked to do. Thus, conventional practices, including homework, grades, and tests, prove difficult to justify for anyone who is serious about promoting long-term dispositions rather than just improving short-term skills. [6]

6.      Ken Robinson: Sir Ken Robinson adalah seorang pendidik dan penulis terkenal yang dikenal karena menyuarakan perubahan dalam sistem pendidikan. Ia berpendapat bahwa pendidikan harus lebih berfokus pada pengembangan potensi kreatif dan bakat siswa daripada sekadar menghafal informasi. Dalam pidato "Life is your talents discovered" di TEDxLiverpool, Sir Ken Robinson membahas pentingnya menemukan dan mengembangkan bakat kita dalam kehidupan. Dia menyoroti bahwa setiap orang memiliki bakat unik dan potensi yang dapat memberi arti pada hidup mereka. Robinson mengkritik pendidikan tradisional yang sering kali tidak memprioritaskan penemuan bakat individual. Dia berpendapat bahwa sistem pendidikan sering kali mempromosikan konformitas dan menekankan pada pencapaian akademik standar yang sempit. Hal ini dapat menyebabkan banyak orang merasa terjebak dalam pekerjaan yang tidak memanfaatkan bakat mereka atau tidak memberi mereka kepuasan pribadi.[7]

Pandangan-pandangan ini mencerminkan berbagai pendekatan alternatif dalam pendidikan yang menekankan pemahaman, kreativitas, dan pengembangan potensi individu daripada sekadar menghafal informasi. Tetapi perlu diingat bahwa pandangan ini juga bisa kontroversial, dan ada berbagai pendapat tentang apa yang paling efektif dalam konteks pendidikan.

 

 

FOTENOTE:


[1] ChatGPT, https://chat.openai.com/c/6b079523-bb6e-4002-b5ea-9b919ab97585 , diakses: 26 September 2023 jam: 21:20 Wita

[2] Yuberti, Teori Pembelajaran dan Pengembangan Bahan Ajar Dalam Pendidikan, Penerbit:  Anugrah Utama Raharja (AURA), Cetakan Agustus 2014, h. 129

[3] Nurhadi, Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya Dalam KBK ( Malang: Universitas Islam negeri Malang, 2004), h. 33

[4] Montessori, Metode Montessori, Panduan Wajib Untuk Guru Dan Orangtua Didik PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), h.26.

[5] Howard Gardner, Multiple Intelligences: Kecerdasan Majemuk, Teori dalam Praktek, terj. Alexander Sindoro, (Batam: Interaksara, 2003), hlm. 34

[6] Alfie Kohl, Website Alfie Kohl,  Articles: Progressive Education, Why It’s Hard to Beat, But Also Hard to Find By Alfie Kohn  (https://www.alfiekohn.org/article/progressive-education/) diakses: 26 September 2023 jam: 20:34 Wita.

[7] Kompasiana, Artikel: Hidup adalah Penemuan Bakatmu, https://www.kompasiana.com/yudiyuda8644/6464bf124addee3fbf3a60e2/hidup-adalah-penemuan-bakatmu , diakses: 26 September 2023 jam: 20:20 Wita.


DAFTAR PUSTAKA

Yuberti, Dr. MPd, Teori Pembelajaran dan Pengembangan Bahan Ajar Dalam Pendidikan, Penerbit:  Anugrah Utama Raharja (AURA), Cetakan Agustus 2014. (file:///J:/Downloads/TEORIBELAJARDANPEMBELAJARAN.pdf)

Nurhadi, Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya Dalam KBK ( Malang: Universitas Islam negeri Malang, 2004).

(http://etheses.uin-malang.ac.id/4795/1/04110196.pdf)

Montessori, Metode Montessori, Panduan Wajib Untuk Guru Dan Orangtua Didik PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Edited by Gerald Lee Gutek. Cetakan II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. (https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/31810/17422121%20Laily%20Nur%20Hidayati.pdf?sequence=1&isAllowed=y)  h.62

Howard Gardner, Multiple Intelligences: Kecerdasan Majemuk, Teori dalam Praktek, terj. Alexander Sindoro, (Batam: Interaksara, 2003)                                                         

(http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/2445/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf)

 

 TERJEMAH:

Motivasi intrinsik: Ketika mempertimbangkan (atau mempertimbangkan kembali) kebijakan dan praktik pendidikan, pertanyaan pertama yang mungkin ditanyakan oleh para pendidik progresif adalah, “Apa pengaruhnya terhadap minat belajar siswa, keinginan mereka untuk terus membaca, berpikir, dan bertanya?” Tes yang tampak sederhana ini membantu menentukan apa yang siswa akan dan tidak akan diminta untuk melakukannya. Oleh karena itu, praktik konvensional, termasuk pekerjaan rumah, nilai, dan ujian, terbukti sulit dibenarkan bagi siapa pun yang serius dalam mengembangkan disposisi jangka panjang dibandingkan sekadar meningkatkan keterampilan jangka pendek. 

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Silakan Download pada link disamping ini: DOWNLOAD PDF

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------





Top of Form

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Mohon maaf jika pertanyaan Anda tidak terbalas karena tidak termonitor (offline) atau keterbatasan pengetahuan saya :D