KOMPETENSI KEPRIBADIAN GURU

KOMPETENSI KEPRIBADIAN GURU

KOMPETENSI KEPRIBADIAN GURU

oleh: Salahuddin (Gr.MAN1HSS)

Kompetensi adalah kemampuan dalam melakukan seperangkat tugas yang membutuhkan integrasi pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Sedangkan kompeten memiliki arti kemampuan dalam melakukan peran secara efektif pada suatu konteks tertentu, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Rina Febriana dalam bukunya bertajuk Kompetensi Guru.

Melansir artikel resmi milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tertulis bahwa ada begitu banyak guru-guru di Indonesia telah mendapatkan sertifikat sertifikasi. Yang secara tidak langsung, sertifikat tersebut menyatakan bahwa seorang guru layak disebut sebagai tenaga pendidik yang profesional. Guru yang profesional dan kompeten tentunya menerapkan standar-standar kompetensi guru setiap bertugas.

Dr. Rina juga menjelaskan tentang jenjang pendidikan seorang tenaga pendidik. Seorang guru haruslah memiliki kualifikasi akademik minimal Sarjana atau Diploma IV yang relevan sehingga dapat menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran.

Terkait dengan kompetensi guru, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, adapun macam-macam kompetensi yang harus dimiliki oleh tenaga guru antara lain: kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial yang diperoleh melalui pendidikan profesi.[1]

Pelaksanaan tugas sebagai guru harus didukung oleh suatu perasaan bangga akan tugas yang di percayakan kepadanya untuk mempersiapkan generasi kualitas masa depanbangsa. Walaupun berat tantangan dan rintangan yang di hadapi dalam pelaksananan tugasnya harus tetap tegar dalam melaksanakan tugas sebagai seorang guru.

Pendidikan adalah proses yang direncanakan agar semua berkembang melalui proses pembelajaran. Guru sebagai pendidik harus dapat memengaruhi kearah proses itu sesuai dengan tata nilai yang di anggap baik dan berlaku dalam masyarakat.

Tata nilai termasuk norma, moral, estetika, dan ilmu pengetahuan, memengaruhi perilaku etik siswa sebagai pribadi dan sebagai anggota masyarakat. Penerapan disiplin yang baik dalam proses pendidikan akan menghasilkan sikap mental,watak, dan kepribadian siswa yang kuat.

Guru di tuntut harus mampu membelajarkan kepada siswanya tentang kedisiplinan diri, belajar membaca, mencintai buku, menghargai waktu, belajar bagaimana cara belajar, mematuhi aturan/tata tertib dan belajar bagaimana harus berbuat. Semuanya itu akan berhasil apa bila guru juga disipli dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.[2]

Menurut Syaiful Sagala, Kompetensi Kepribadian, dilihat dari aspek psikologis kompetensi kepribadian guru menunjukkan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian a) mantap dan stabil yaitu memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai norma hukum, norma sosial, dan etika yang berlaku, b) dewasa yang berarti mempunyai kemandirian untuk bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai guru, c) arif dan bijaksana yaitu tampilannya bermanfaat bagi peserta peserta didik, sekolah, dan masyarakat dengan menunjukkan keterbukaan dalam berfikir dan bertindak, d) berwibawa yaitu perilaku guru yang disegani sehingga berpengaruh positif terhadap peserta didik, dan e) memiliki akhlak mulia dan memiliki perilaku yang dapat diteladani oleh peserta didik, bertindak sesuai norma religius, jujur, ikhlas, dan suka menolong.[3]

Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa serta menjadi teladan dan berakhlak mulia. Berikut subkompetensi dalam kompetensi kepribadian:

a.   Memiliki kepribadian yang mantap dan stabil, yaitu bertindak sesuai dengan norma hukum dan norma sosial, memiliki rasa bangga sebagai guru serta memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai norma.

b.    Memiliki kepribadian yang dewasa, yaitu menampilkan kemandirian dengan bertindak sebagai pendidik dan memiliki semangat kerja sebagai guru.

c.   Memiliki kepribadian yang arif dengan bertindak berdasarkan kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat serta bertindak dan memiliki pola pikir yang terbuka.

d.    Memiliki kepribadian yang berwibawa, yaitu memiliki perilaku yang disegani dan memberikan berpengaruh positif terhadap peserta didik.

e.  Berakhlak mulia dan dapat menjadi teladan, yaitu dengan bertindak sesuai dengan norma agama dan berperilaku yang layak diteladani peserta didik.[4]

 

Kompetensi Guru Abad 21

Kompetensi guru abad 21 selalu menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini. Bagaimana pun sosok guru harus memiliki kecakapan sesuai kebutuhan jamannya. Murid-murid kita adalah generasi millenial dan generasi Z, yang bisa dikatakan telah dan akan menjalani kehidupan lebih modern dari yang dialami oleh para guru.

Kecakapan abad 21 telah menjadi realitas pendidikan global yang sudah sewajarnya diadopsi oleh para guru dengan cara menguasai dan menerapkan teknologi, informasi dan komunikasi dalam proses kegiatan belajar mengajar. Tetyana Blyznyuk membagi kompetensi guru abad 21 ke dalam beberapa bentuk, yaitu:

 (1) Information

Pendidik memiliki kemampuan literasi data (kemampuan mencari, memilih, memilah, mengevaluasi, mengelola informasi yang cocok untuk pembelajaran).

 (2) Communication

Merupakan keterampilan untuk berinteraksi, terlibat, berbagi, dan kerja sama melalui teknologi digital.

 (3) Edocational content creation

Merupakan kemampuan pendidik untuk dapat menciptakan konten pembelajaran digital (program aplikasi pembelajaran, presentasi interaktif, animasi pembelajaran, dan sebagainya). Security, pendidik memiliki kemampuan untuk menjamin perlindungan terhadap dampak produk teknologi bagi anak didik dalam proses pembelajaran.

 (4) Educational problem solving

Memecahkan masalah dan mengatasi persoalan teknis, dapat mengidentifikasi respon dan kebutuhan teknologi yang diperlukan dalam pembelajaran, mampu mengidentifikasi kelemahan-kelemahan teknologi digital dalam favorit. Membuat pola berpikir kompetitif hanya mencerdaskan anak didik pada 4 Kompetensi guru dan contoh penerapannya yang kami sajikan tentunya bukan untuk dihafalkan oleh bapak/ibu guru. Namun kompetensi yang harus dimiliki guru adalah untuk benar-benar diimplementasikan dalam proses belajar-mengajar sehari-hari.[5]

 

 


[5] https://www.haidunia.com/4-kompetensi-guru/


Silakan Download pada link: DOWNLOAD DOC 

SEJARAH PENOLAKAN DAN PENDAPAT TOKOH BARAT TERHADAP METODE HAFALAN DALAM  SISTEM PENDIDIKAN

SEJARAH PENOLAKAN DAN PENDAPAT TOKOH BARAT TERHADAP METODE HAFALAN DALAM SISTEM PENDIDIKAN

Oleh: Salahuddin (Guru MAN 1 HSS)

A.     Menelusuri Fakta Sejarah Munculnya Penolakan Terhadap Metode Hafalan Dalam Sistem Pendidikan

Penolakan terhadap metode hapalan dalam sistem pendidikan telah ada sejak lama dan merupakan perdebatan yang kompleks. Ini bukanlah fenomena baru, tetapi telah berkembang seiring dengan perkembangan pendidikan di berbagai budaya dan zaman. Berikut adalah beberapa poin penting dalam sejarah munculnya penolakan terhadap metode hapalan dalam sistem pendidikan:

1.      Filosofi Pendidikan Yunani Kuno: Pendidikan di Yunani kuno, khususnya pada zaman Sokrates, Plato, dan Aristoteles, menekankan pemahaman konsep daripada sekadar menghafalkan informasi. Mereka memandang bahwa pendidikan harus mempromosikan pemikiran kritis, dialog, dan pemahaman mendalam terhadap materi pelajaran.

2.      Pendidikan Renaissance: Selama periode Renaissance di Eropa (abad ke-14 hingga ke-17), pendidikan lebih fokus pada pengembangan kreativitas, penelitian, dan pemahaman. Pemikir seperti Erasmus dan Montaigne menentang pendekatan pendidikan yang hanya mengajarkan hafalan teks klasik.

3.      Pendidikan Progresif: Gerakan pendidikan progresif yang dimulai pada awal abad ke-20 oleh tokoh-tokoh seperti John Dewey mengedepankan pemahaman konsep dan pembelajaran yang aktif. Mereka menentang pendekatan tradisional yang hanya mengharuskan siswa menghafal fakta tanpa pemahaman yang mendalam.

4.      Pendekatan Konstruktivisme: Teori konstruktivisme dalam pendidikan, yang dikembangkan oleh Jean Piaget dan Lev Vygotsky, menekankan pentingnya pembelajaran yang berasal dari pemahaman sendiri melalui interaksi dengan materi pelajaran, bukan sekadar hapalan.

5.      Revolusi Pendidikan Digital: Berkembangnya teknologi digital telah mengubah cara kita mengakses dan memproses informasi. Ini telah mendorong pendekatan pendidikan yang lebih berfokus pada pemahaman dan aplikasi konsep daripada sekadar menghafal.

6.      Gerakan Pendidikan Berbasis Kompetensi: Beberapa sistem pendidikan modern telah beralih ke pendekatan berbasis kompetensi, di mana siswa diukur berdasarkan kemampuan mereka untuk menerapkan pengetahuan dalam situasi dunia nyata daripada sekadar menghafal fakta.

7.      Kritik terhadap Overemphasizing Ujian: Penolakan terhadap metode hapalan juga sering dikaitkan dengan kritik terhadap sistem ujian yang berfokus pada hafalan daripada pemahaman konsep.

Dalam berbagai budaya dan periode sejarah, penolakan terhadap metode hapalan muncul karena keinginan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, pemahaman mendalam, dan kreativitas dalam pendidikan. Meskipun demikian, perdebatan ini juga melibatkan sejumlah sudut pandang yang berbeda, dan ada yang berpendapat bahwa metode hapalan masih memiliki peran penting dalam pendidikan untuk mengingat dan memahami fakta-fakta dasar.[1]

 

B.     Pendapat Para Tokoh Pendidikan Barat Berkenaan Dengan Metode Hapalan Dalam Sistem Pendidikan

Beberapa tokoh terkenal dari Barat telah menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap metode hapalan dalam sistem pendidikan. Berikut ini adalah beberapa di antara mereka:

1.      John Dewey: John Dewey adalah seorang filosof pendidikan Amerika yang sangat berpengaruh. Ia menentang pendekatan pendidikan yang terlalu berfokus pada penghafalan dan lebih menekankan pentingnya pembelajaran berbasis pengalaman. Dewey berpendapat bahwa pendidikan harus mempromosikan pemikiran kritis dan pemecahan masalah. Belajar aktif merupakan perkembangan teori Dewey By Doing (1859-1952). Dewey tidak setuju dengan rote learning “belajar dengan menghafal”. Dewey merupakan pendiri Dewey sehool yang menerapkan prinsip-prinsip “learning by doing” , yaitu siswa perlu terlibat dalam proses belajar secara spontan. Dari rasa keingintahuan siswa dari hal-hal yang belum diketahuinnya mendorong keterlibatannya secara aktif dalam suatu proses belajar.[2]

 

2.      Jean Piaget: Jean Piaget, seorang psikolog perkembangan Swiss yang banyak berkontribusi pada pemahaman tentang bagaimana anak-anak belajar, menentang metode hapalan dalam pendidikan. Ia percaya bahwa anak-anak harus aktif dalam membangun pengetahuan mereka sendiri melalui eksplorasi dan eksperimen. Menurut Jean Piaget, belajar lebih dari sekedar mengingat. Bagi siswa, untuk benar-benar mengerti dan dapat menerapkan ilmu pengetahuan, mereka harus bekerja untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu bagi dirinya sendiri, dan selalu bergulat dengan ide-ide.[3]

 

3.      Maria Montessori: Maria Montessori, seorang dokter Italia yang mengembangkan metode pendidikan Montessori, juga menentang metode hapalan. Metodenya menekankan pembelajaran melalui tangan-on, pemahaman konsep, dan pengembangan keterampilan praktis, bukan sekadar menghafal fakta. Konsep pendidik dalam teori pendidikan Maria Montessori dengan konsep pendidikan pada sekolah tradisional memiliki sebuah perbedaan yang sangat menonjol. Dalam sekolah tradisional, pendidik menguasai kelas dan menjadikan ia sebagai sorotan utama di dalam sebuah ruang kelas sehingga fokus anak hanya tertuju pada pendidik. Hal ini sangat berbeda dengan konsep pendidik yang Maria Montessori sampaikan. Ia mengubah pandangan lama tersebut dan menyebut seorang pendidik dengan sebutan ―kepala sekolah perempuan‖ yang memiliki tugas untuk mendampingi proses belajar anak dan membimbing anak dalam kegiatan belajar mereka selama didalam kelas tersebut.[4]

 

4.      Howard Gardner: Howard Gardner, seorang psikolog perkembangan Amerika, dikenal karena teorinya tentang kecerdasan majemuk. Gardner menentang penilaian pendidikan yang terlalu berfokus pada penghafalan dan menganggap bahwa setiap individu memiliki berbagai jenis kecerdasan yang perlu dihargai dan dikembangkan. Kecerdasan majemuk adalah istilah yang digunakan oleh Howard Gardner untuk menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia itu memiliki banyak kecerdasan, tidak hanya sebatas IQ seperti yang dikenal selama ini. Menurut Gardner, sedikitnya ada sembilan kecerdasan yang dimiliki oleh manusia yaitu kecerdasan linguistik, matematis-logis, ruang-visual (spasial), kinestetik-badani, musikal, interpersonal, dan intrapersonal,  naturalis dan kecerdasan eksistensial.[5]

 

5.      Alfie Kohn: Alfie Kohn adalah seorang penulis dan kritikus pendidikan Amerika yang terkenal karena pandangannya yang kritis terhadap pendidikan tradisional. Ia berpendapat bahwa metode hapalan dapat merusak motivasi intrinsik siswa dan lebih suka pendekatan yang lebih berpusat pada pemahaman dan minat individu.

Intrinsic motivation: When considering (or reconsidering) educational policies and practices, the first question that progressive educators are likely to ask is, “What’s the effect on students’ interest in learning, their desire to continue reading, thinking, and questioning?” This deceptively simple test helps to determine what students will and won’t be asked to do. Thus, conventional practices, including homework, grades, and tests, prove difficult to justify for anyone who is serious about promoting long-term dispositions rather than just improving short-term skills. [6]

6.      Ken Robinson: Sir Ken Robinson adalah seorang pendidik dan penulis terkenal yang dikenal karena menyuarakan perubahan dalam sistem pendidikan. Ia berpendapat bahwa pendidikan harus lebih berfokus pada pengembangan potensi kreatif dan bakat siswa daripada sekadar menghafal informasi. Dalam pidato "Life is your talents discovered" di TEDxLiverpool, Sir Ken Robinson membahas pentingnya menemukan dan mengembangkan bakat kita dalam kehidupan. Dia menyoroti bahwa setiap orang memiliki bakat unik dan potensi yang dapat memberi arti pada hidup mereka. Robinson mengkritik pendidikan tradisional yang sering kali tidak memprioritaskan penemuan bakat individual. Dia berpendapat bahwa sistem pendidikan sering kali mempromosikan konformitas dan menekankan pada pencapaian akademik standar yang sempit. Hal ini dapat menyebabkan banyak orang merasa terjebak dalam pekerjaan yang tidak memanfaatkan bakat mereka atau tidak memberi mereka kepuasan pribadi.[7]

Pandangan-pandangan ini mencerminkan berbagai pendekatan alternatif dalam pendidikan yang menekankan pemahaman, kreativitas, dan pengembangan potensi individu daripada sekadar menghafal informasi. Tetapi perlu diingat bahwa pandangan ini juga bisa kontroversial, dan ada berbagai pendapat tentang apa yang paling efektif dalam konteks pendidikan.

 

 

FOTENOTE:


[1] ChatGPT, https://chat.openai.com/c/6b079523-bb6e-4002-b5ea-9b919ab97585 , diakses: 26 September 2023 jam: 21:20 Wita

[2] Yuberti, Teori Pembelajaran dan Pengembangan Bahan Ajar Dalam Pendidikan, Penerbit:  Anugrah Utama Raharja (AURA), Cetakan Agustus 2014, h. 129

[3] Nurhadi, Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya Dalam KBK ( Malang: Universitas Islam negeri Malang, 2004), h. 33

[4] Montessori, Metode Montessori, Panduan Wajib Untuk Guru Dan Orangtua Didik PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), h.26.

[5] Howard Gardner, Multiple Intelligences: Kecerdasan Majemuk, Teori dalam Praktek, terj. Alexander Sindoro, (Batam: Interaksara, 2003), hlm. 34

[6] Alfie Kohl, Website Alfie Kohl,  Articles: Progressive Education, Why It’s Hard to Beat, But Also Hard to Find By Alfie Kohn  (https://www.alfiekohn.org/article/progressive-education/) diakses: 26 September 2023 jam: 20:34 Wita.

[7] Kompasiana, Artikel: Hidup adalah Penemuan Bakatmu, https://www.kompasiana.com/yudiyuda8644/6464bf124addee3fbf3a60e2/hidup-adalah-penemuan-bakatmu , diakses: 26 September 2023 jam: 20:20 Wita.


DAFTAR PUSTAKA

Yuberti, Dr. MPd, Teori Pembelajaran dan Pengembangan Bahan Ajar Dalam Pendidikan, Penerbit:  Anugrah Utama Raharja (AURA), Cetakan Agustus 2014. (file:///J:/Downloads/TEORIBELAJARDANPEMBELAJARAN.pdf)

Nurhadi, Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya Dalam KBK ( Malang: Universitas Islam negeri Malang, 2004).

(http://etheses.uin-malang.ac.id/4795/1/04110196.pdf)

Montessori, Metode Montessori, Panduan Wajib Untuk Guru Dan Orangtua Didik PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Edited by Gerald Lee Gutek. Cetakan II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. (https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/31810/17422121%20Laily%20Nur%20Hidayati.pdf?sequence=1&isAllowed=y)  h.62

Howard Gardner, Multiple Intelligences: Kecerdasan Majemuk, Teori dalam Praktek, terj. Alexander Sindoro, (Batam: Interaksara, 2003)                                                         

(http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/2445/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf)

 

 TERJEMAH:

Motivasi intrinsik: Ketika mempertimbangkan (atau mempertimbangkan kembali) kebijakan dan praktik pendidikan, pertanyaan pertama yang mungkin ditanyakan oleh para pendidik progresif adalah, “Apa pengaruhnya terhadap minat belajar siswa, keinginan mereka untuk terus membaca, berpikir, dan bertanya?” Tes yang tampak sederhana ini membantu menentukan apa yang siswa akan dan tidak akan diminta untuk melakukannya. Oleh karena itu, praktik konvensional, termasuk pekerjaan rumah, nilai, dan ujian, terbukti sulit dibenarkan bagi siapa pun yang serius dalam mengembangkan disposisi jangka panjang dibandingkan sekadar meningkatkan keterampilan jangka pendek. 

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Silakan Download pada link disamping ini: DOWNLOAD PDF

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------





Top of Form

MENGKRITISI METODE HAFALAN DALAM SISTEM PENDIDIKAN KITA

MENGKRITISI METODE HAFALAN DALAM SISTEM PENDIDIKAN KITA

Ditulis oleh: Salahuddin (Guru MAN 1 HSS)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menghafal adalah usaha meresapkan ke dalam pikiran agar selalu ingat. Sedangkan memahami berarti mengerti dengan benar. Lantas, adakah yang lebih baik di antara keduanya?

Tidak ada jawaban pasti mengenai hal tersebut. Namun,  Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, menyebutkan bahwa kompetensi menghafal tidak diperlukan di masa depan. Menurutnya, tantangan masa dengan memiliki kompleksitas yang tinggi sehingga dibutuhkan kompetensi selain menghafal, yakni kemampuan memahami konsep bacaan (literasi) dan kemampuan mengaplikasikan konsep hitungan di dalam suatu kompleks yang abstrak atau nyata (numerasi).[1]

Anak berbakat memerlukan berbagai kebutuhan khusus sesuai dengan ciri keunggulan yang dimiliki oleh masing-masing anak. Kebutuhan khusus inilah yang memerlukan layanan khusus dalam bentuk pendidikan luar biasa (special education) karena sifatnya yang amat khusus. Pendidikan anak berbakat intelektual berbeda dengan anak yang lain dan seyogyanya amat menekankan pada aspek aktivitas intelektualnya. Disamping itu, pembelajaran anak berbakat harus diwarnai kecepatan dan tingkat kompleksitas yang lebih sesuai kemampuannya yang secara riil lebih tinggi dari anak biasa.[2]

Perlu dipahami pula bahwa individu berbakat memerlukan pertimbangan khusus dalam pendidikannya, karena secara kualitatif berbeda dengan individu lainnya. Program pendidikan yang dirancangpun harus berbeda dengan program pendidikan untuk anak lainnya, dengan penekanan luar biasa pada perkembangan kreatif dan proses berpikir tinggi. Sehubungan dengan itu, hafalan dalam pembelajaran bagi anak berbakat harus sejauh mungkin dicegah. Tekanannya justru pada teknik yang berorientasi pada penemuan (discovery oriented) dan pendekatan induktif.[3]

Doktor bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang, Hasanudin Abdurakhman menjelaskan bahwa menghafal tidak sama dengan belajar. Belajar adalah proses yang berbeda. Sangat berbeda. Perbedaan terpentingnya terletak pada proses pencernaan informasi. Proses mencerna informasi dengan cara menghafal dan memahami akan memberikan hasil yang berbeda. Entah kenapa pembuat kurikulum kita begitu bersemangat untuk menjejalkan sebanyak mungkin pengetahuan kepada anak-anak sejak usia dini. Demikian banyak, sehingga guru tak sanggup membangun pemahaman kepada anak-anak atas setiap subjek pelajaran. Anak-anak pun tak sanggup memahaminya. Akhirnya, dipilihlah jalan pintas, hafalkan saja. Metode menghafal diibaratkan seperti melakukan aktivitas fisik. Kemampuan bisa terbentuk secara sempurna ketika dilakukan secara berulang-ulang. Namun, akan cepat hilang apabila seseorang berhenti melakukannya. “Kalau kita rajin melakukan latihan beban secara berulang, maka otot kita akan membesar. Itu adalah ‘memori’ yang menandai aktivitas (fisik) tadi. Menghafal sama dengan memberi tanda itu pada otak kita. Konsekuensinya, bila prosesnya kita hentikan, maka secara perlahan tanda itu akan hilang. Kita akan lupa.[4]

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim, saat menghadiri rapat kerja Komisi X DPR di DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/12/2019), mengatakan, materi belajar yang dihafalkan anak akan cepat hilang. Untuk mendapatkan angka (nilai) yang baik, dan karena cuma punya beberapa jam, sehingga semua materi harus di-cover yang ujung-ujungnya harus hafal. Tapi setelah selesai ujian, apa yang terjadi bapak-bapak dan ibu-ibu? Lupa. Karena itu, metode belajar dengan cara “memahami konsep” akan lebih efektif diterapkan bagi siswa dan siswi di Indonesia. Sebab, dengan cara ini, mereka dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat untuk menyelesaikan masalah di kehidupan nyata. Perlu metode belajar komprehensif agar mampu memahami dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan, siswa membutuhkan bimbingan belajar yang komprehensif. Bimbingan belajar yang dimaksud mencakup pemberian materi pelajaran, latihan soal, pembahasan, dan rangkuman. Memperbanyak latihan soal dengan berbagai variasi kasus dapat membuat siswa jadi lebih cepat memahami konsep ilmu pengetahuan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.Adapun pembahasan dari latihan soal juga diperlukan agar siswa memahami jawaban yang benar dan mampu memperdalam konsep ilmu yang dipelajari. Sementara itu, rangkuman materi juga dibutuhkan bagi siswa dalam proses belajar agar mereka lebih mudah mengingat inti materi pelajaran. Meski demikian, metode belajar siswa tidak boleh dilakukan secara monoton agar siswa tidak cepat bosan ketika belajar. Dibutuhkan metode belajar yang variatif untuk membuat siswa betah lama-lama mempelajari ilmu pengetahuan yang berguna bagi hidupnya.[5]

Menghapal adalah salah satu cara guru pada metode pembelajaran Konvesional. Pada pembelajaran  konvensional, menyandarkan pada hafalan, pemilihan informasi lebih banyak ditentukan oleh guru, siswa pasif menerima informasi dari guru, pembelajaran bersifat abstrak (teoritis), memberi tumpukan informasi pada siswa, terfokus pada satu bidang, waktu belajar siswa dihabiskan untuk mengerjakan (buku tugas, mendengar ceramah dan mengisi Latihan/kerja individual) dan perilaku dibangun atas kebiasaan. Ketrampilan dikembangkan atas dasar latihan. Hadiah dari perilaku baik adalah pujian dan nilai raport. Siswa tidak melakukan hal buruk karena takut hukuman. Perilaku baik berdasarkan motivasi entrinsik. Pembelajaran ini hanya terjadi di dalam ruangan kelas. Hasil belajar diukur dengan kegiatan akademik dalam bentuk tes (ujian/ulangan).[6]

Pada pembelajaran kontektual (Contextual Theaching Learning), menyandarkan pada pemahaman makna, pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan siswa, siswa terlibat secara aktif dalam prosesi pembelajaran, pembelajaran dikaitkan pada kehidupan nyata siswa, selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan siswa, cenderung mengintegrasikan beberapa bidang, waktu belajar siswa digunakan untuk belajar (menemukan – menggali – berdiskusi - dan berfikir kritis atau mengerjakan proyek dan pepecahan masalah melalui kerja kelompok), perilaku dibangun atas kesadaran’ ketrampilan dikembangkan atas dasar pemahaman. Hadiah dari perilaku baik adalah kepuasan diri yang bersifat subyektif. Siswa tidak melakukan hal yang buruk karena sadar hal tersebut merugikan. Perilaku tidak berdasarkan motivasi intrinsik. Pembelajaran terjadi di berbagai tempat kontek dan setting. Hasil belajar diukur dengan penerapan autentik.[7]

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan model  pembelajaran kontektual (Contextual Theaching Learning) dengan pembelajaran model konvensional terletak pada peran siswa dalam model kontektual (Contextual Theaching Learning ) sebagai pelaku pencari informasi sedang pada dalam model pembelajaran konvensional siswa berperan sebagai penerima informasi.[8]

Kelebihan dan kekurangan model konvensional menurut (Purwoto, 2003:67)[9] sebagai berikut ini.

a. Kelebihan Model Pembelajaran Konvensional

1)        Dapat menampung kelas yang besar, tiap peserta didik mendapat kesempatan yang sama untuk mendengarkan.

2)        Bahan pengajaran atau keterangan dapat diberikan lebih urut.

3)     Pengajar dapat memberikan tekanan terhadap hal-hal yang penting, sehingga waktu dan energi dapat digunakan sebaik mungkin.

4)     Isi silabus dapat diselesaikan dengan lebih mudah, karena pengajar tidak harus menyesuaikan dengan kecepatan belajar peserta didik.

5)   Kekurangan buku dan alat bantu pelajaran, tidak menghambat dilaksanakannya pengajaran dengan model ini.

b. Kekurangan Model Pembelajaran Konvensional

1)  Proses pembelajaran berjalan membosankan dan peserta didik menjadi pasif, karena tidak berkesempatan untuk menemukan sendiri konsep yang diajarkan.

2)      Kepadatan konsep-konsep yang diberikan dapat berakibat peserta didik tidak mampu menguasai bahan yang diajarkan.

3)        Pengetahuan yang diperoleh melalui model ini lebih cepat terlupakan.

4)  Ceramah menyebabkan belajar peserta didik menjadi belajar menghafal yang tidak mengakibatkan timbulnya pengertian.

Dari sekian banyak uraian di atas tentang kontra terhadap penggunaan metode Hapalan dalam dunia pendidikan, namun banyak analisis tentang keunggulan dan kelemahan metode hapalan dalam pendidikan sehingga menjadi solusi agar kelemahan itu bisa diatasi.

Dalam penerapannya metode hafalan juga memiliki keunggulan maupun kelemahan. Tetapi, keunggulan ataupun kelemahan tersebut dapat diminimalisir oleh pendidik. Adapun keunggulan dari metode hafalan yaitu: [10]

1.       Metode hafalan sangat efektif untuk menjaga daya ingat peserta didik terhadap materi yang telah dipelajarinya, karena dapat dilakukan baik di dalam maupun di luar kelas Melatih peserta didik dapat berpikir kritis, analisis, aplikatif, dan komprehensif. .( Hermawati,2010)[11]

2.         Dalam pembelajaran, peserta didik akan lebih giat dan meningkatkan minat bacanya melalui hafalan.

3.         Tidak mudah hilang setelah dihafal

4.        Peserta didik mampu memupuk perkembangan dan keberaniannya, serta bertanggung jawab dan mandiri.

5.         Sangat mudah dan sederhana juga mampu membangkitkan rasa percaya diri

6.         Menghafal menjadi solusi jika tidak mampu menguasai dan memahami materi

Kelemahan dari metode hafalan atau menghafal yaitu:

1.   Mesti diiringi pemahaman, karena menghafal tanpa pemahaman akan menjadi sia-sia, dan cenderung mudah lupa. (Ikowiyah,2007)[12]

2.         Membosankan dan monoton.

3.         Banyak memakan waktu, tenaga, dan pikiran.

4.         Pemikirannya tidak banyak berubah karena sebatas apa yang dihafalnya.

5.         Tidak terbiasa mengeluarkan ide atau gagasan.

6.         Mental peserta didik terganggu.

7.        Tidak tepat kepada peserta didik yang mempunyai latar belakang yang berbeda dan membutuhkan banyak perhatian.

Beberapa cara mengatasi kelemahan metode hafalan, yaitu: 

1.         Pengajar menjelaskan materi sampai peserta didik memahaminya.

2.         Menjelaskan latar belakang yang cukup agar lebih mudah dihafal.

3.         Mendorong atau memotivasi hafalan kepada peserta didik.

4.    Memilih teknik hafalan yang lebih ampuh, agar dapat menghafalkan secara keseluruhan atau sebagian.

5.         Peserta didik menghafal materi yang penting-penting saja.[13]



[1] Artikel Pijar Sekolah, Mana Lebih Baik untuk Siswa: Menghafal atau Memahami Pelajaran, https://pijarsekolah.id/blog/mana-lebih-baik-untuk-siswa-menghafal-atau-memahami-pelajaran/

[4] MTsN 5 Karang Anyar, Artikel: Menghapal vs Memahami, Mana Cara Belajar Paling Tepat?https://www.mtsn5karanganyar.sch.id/berita/detail/423546/menghafal-vs-memahami-mana-cara-belajar-paling-tepat-/

 [5] MTsN 5 Karang Anyar, Artikel: Menghapal vs Memahami, Mana Cara Belajar Paling Tepat?https://www.mtsn5karanganyar.sch.id/berita/detail/423546/menghafal-vs-memahami-mana-cara-belajar-paling-tepat-/

 [6] Sakiyem Kiki FN, Jurnal: MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL THEACING LEARNING (CTL), https://babel.kemenag.go.id/id/opini/599/MODEL-PEMBELAJARAN-CONTEXTUAL-THEACING-LEARNING-CTL#_ftn2

[7] Ibid….

[8] Sakiyem Kiki FN, Jurnal: MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL THEACING LEARNING (CTL), https://babel.kemenag.go.id/id/opini/599/MODEL-PEMBELAJARAN-CONTEXTUAL-THEACING-LEARNING-CTL#_ftn2

[9] Purwoto. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika. Surakarta: Sebelas Maret University Press. h.67

[10] Nur Ali, ANALISIS TERHADAP METODE PEMBELAJARAN HAFALAN, Annual Conference on Islamic Education and Thought, file:///J:/Downloads/669-133-1163-1-10-20201103%20(1).pdf , h.140

[11] Hermawati. 2015. Mengenal dan Memahami PAUD. Bandung: Rosda

[12] Ikowiyah, “Pembelajaran Kosakata Bahasa Arab Dengan Metode Menghafal (Mahfudzot) Di Mts An-Nawawi Berjan Purworejo”, Skripsi, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, 2007, hlm. 11

[13] Nur Ali, ANALISIS TERHADAP METODE PEMBELAJARAN HAFALAN, Annual Conference on Islamic Education and Thought, file:///J:/Downloads/669-133-1163-1-10-20201103%20(1).pdf , h.141

 



DAFTAR PUSTAKA

Artikel Pijar Sekolah, Mana Lebih Baik untuk Siswa: Menghafal atau Memahami Pelajaran, https://pijarsekolah.id/blog/mana-lebih-baik-untuk-siswa-menghafal-atau-memahami-pelajaran/

Mardiya, Artikel: Pendidikan untuk Anak Berbakat, https://pemberdayaan.kulonprogokab.go.id/detil/1347/pendidikan-untuk-anak-berbakat

 MTsN 5 Karang Anyar, Artikel: Menghapal vs Memahami, Mana Cara Belajar Paling Tepat?https://www.mtsn5karanganyar.sch.id/berita/detail/423546/menghafal-vs-memahami-mana-cara-belajar-paling-tepat-/

Sakiyem Kiki FN, Jurnal: MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL THEACING LEARNING (CTL), https://babel.kemenag.go.id/id/opini/599/MODEL-PEMBELAJARAN-CONTEXTUAL-THEACING-LEARNING-CTL#_ftn2

Purwoto. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika. Surakarta: Sebelas Maret University Press

Hermawati. 2015. Mengenal dan Memahami PAUD. Bandung: Rosda

Ikowiyah, “Pembelajaran Kosakata Bahasa Arab Dengan Metode Menghafal (Mahfudzot) Di Mts An-Nawawi Berjan Purworejo”, Skripsi, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, 2007

Nur Ali, ANALISIS TERHADAP METODE PEMBELAJARAN HAFALAN, Annual Conference on Islamic Education and Thought, file:///J:/Downloads/669-133-1163-1-10-20201103%20(1).pdf

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Silakan Download pada link disamping ini: DOWNLOAD PDF

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------