Penulis: Salahuddin (MAN 1 HSS)
PENDAHULUAN
Di Kalimantan Selatan, tercatat nama seorang ulama besar yang dipandang sebagai tokoh dan aktor sejarah yang sangat berjasa terhadap perkembangan masyarakat Islam di daerah ini. Ulama itu adalah Syekh Muhammad Arsyad Syekh Arsyad (1710-1812) yang dikenal juga sebagai Tuanku Haji Besar dan Datu Kelampayan. Saghir Abdullah, seorang peneliti Kalimantan, menjulukinya sebagai Matahari Islam Nusantara.[1] Sementara KH Sifuddin Zuhri menyebutnya sebagai Mercusuar Islam Kalimantan.[2] Sedangkan Azyumardi Azra memposisikannya sebagai orang yang tidak saja berperan dalam jaringan ulama di Indonesia, tetapi juga sebagai ulama pertama yang mendirikan lembaga-lembaga Islam serta memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan di Kalimantan.[3]
Kiprah Syekh Arsyad tidak saja dikenal di daerah Kalimantan Selatan dan Indonesia tetapi juga pada negeri-negeri jiran seperti Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Hal ini disebabkan karya yang monumental, kitab Sabilal al-Muhtadin[4] banyak dipelajari oleh umat Islam di negara-negara tersebut. Lebih dari itu, kitab ini tersimpan rapi di beberapa perpustakaan besar dunia, seperti Mekkah, Mesir, Turki dan Beirut.[5]
Di
antara pembaharuan yang dilakukan oleh Syekh Arsyad, adalah bidang Akidah.
Dalam bidang ini, Syekh Arsyad melakukan beberapa kontektualisasi ajaran sesuai
dengan kebutuhan masyarakat Banjar saat itu, seperti kritiknya terhadap upacara
menyanggar banua (menyelamati kampung) dan membuang Pasilih (membuang sial),
Sebagaimana dituangkan dalam salah satu tulisannya, Tuhfah al-Raghibin. Dalam
bidang Syariat, Syekh Arsyad menulis kitabnya yang terkenal, Sabil al-Muhtaddin
li al-Tafaqquh fi Amr al-Din, dan kitab al-Nikah. Selain itu, ia juga menulis
kitab di bidang Dakwah dan Tasawuf. Beranjak dari uraian di atas, tulisan ini
berusaha membahas beberapa pokok pemikiran Syekh Arsyad yang berkaitan dengan
keagamaan terutama dalam bidang Akidah, Syariat, Dakwah dan Tasawuf.
BIOGRAFI SINGKAT SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL
BANJARI
Syekh Muhammad Arsyad al Banjari, cendikiawan muslim yang sangat tersohor di dunia Islam pada abad ke 18. Ayahnya, Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari bin Saiyid Abu Bakar bin Saiyid Abdullah alAidrus bin Saiyid Abu Bakar as-Sakran bin Saiyid Abdur Rahman as-Saqaf bin Saiyid Muhammad Maula ad-Dawilah al-Aidrus dan keturunan langsung dari Saidina Ali bin Abi Thalib dan Saidatina Fatimah binti Nabi Muhammad S.A.W. (Yusri et al. 2017). Lahir 13 Safar 1122 H/1710 M., di kampung Lok Gabang, Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. (Barsihannor 2010)[6]
Saat pemerintahan Sultan Hamidullah yang bergelar Sultan Kuning (1700-1734), sebagai sultan yang bijaksana dan stabilitas pemerintahannya sangat baik. Pemerintahan yang baik ini, melahirkan inovasi Sultan Hamidullah untuk mengembangkan Islam dengan lebih baik, melalui metode mencari bakat anak negeri, ke desa desa. Ditemukanlah anak desa yang cerdas dan pintar menulis kaligrafi. Anak itu, bernama ‘Muhammad Arsyad’, yang kemudian dididik keislaman dilingkungan istana. Setelah dewasa dinikahkan dengan keluarga sultan. Kemudian diberikan ‘tugas belajar’ ke pusatnya dunia Islam. Makkah dan Madinah, selama 35 tahun. Kemudian, sejak kepulangan Syekh Muhammad Arsyad al Banjari dari menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah, di Kesultanan Banjar Islam berkembang dengan sangat pesat. (Ahyat 2015).[7]
Syekh Muhammad Arsyad al Banjari yang belajar agama Islam di Mekkah 30 tahun dan di Madinah 5 tahun, (1737-1772). Tiga disiplin ilmu dalam Islam yang dikembangkan, meliputi: (1) aqidah termaktub dalam kitab Tuhfat al-Rāghibīn, (2) syariah pada kitab Sabīl al-Muhtadīn, (Mujiburrahman 2013), dan (3) tasawuf, ada pada kitab kanzal-ma'rifah. (Hadi 2011).[8]
Untuk mendidik dan membina masyarakat Islam, Syekh Muhammad Arsyad al Banjari mendirikan pondok pesantren, untuk menampung para santri yang datang menuntut ilmu dari berbagai pelosok di Kalimantan. Dari sini lahirlah ulama-ulama yang akan mengembangkan Islam dengan syiar dan dakwah Islam di Kalimantan, di antaranya: Syekh Syihabuddin dan Syekh Abu Zu’ud, keduanya putra Syekh Muhammad Arsyad al Banjari; serta Syekh Muhammad as-’Ad, cucu Syekh Muhammad Arsyad al Banjari (Ahyat 2015).[9]
Tersebarnya agama Islam ke segala pelosok Kalimantan merupakan usaha Syekh Muhammad Arsyad al Banjari dengan anakcucunya, yang sudah mempunyai ilmu pengetahuan hasil didikannya sendiri. Mereka menyebarkan Islam ke Pagatan, Taniran (Hulu Sungai Selatan), Amuntai (Hulu Sungai Utara), Marabahan (Barito Kuala), dan Martapura (Kabupaten Banjar). (Ahyat 2015).[10]
Abdullah (1990) menyebutkan bahwa agama Islam juga berkembang sampai Pontianak (Kalimantan Barat). Di antara anak cucu Syekh Muhammad Arsyad al- Banjari yang terkenal dan berjasa di luar Kalimantan adalah: Haji Muhammad Thaib di Kedah, Malaysia; Haji Abdurahman Siddiq di Sepat Tembilahan, Sumatera; dan Haji Chalil di Bangil, Jawa Timur (Ahyat 2015).[11]
VERSI LAIN TENTANG SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL
BANJARI
Nama lengkap Syekh Arsyad adalah Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abu Bakar bin Abdurrasyid alias Abdul Haris. Silsilah lengkapnya ditelusuri hingga Nabi Muhammad saw.
Datuk (kakek) Syekh Arsyad adalah Abdul Haris. Ia diduga orang yang pertama kali menetap di Muara Banjar. Diceritakan bahwa akibat kapalnya pecah, Abdul Haris terdampar di muara Sungai Barito. Sekitar tahun 1650-an, tercatat dalam sejarah tentang adanya armada kapal yang terdiri dari puluhan kapal bermaksud untuk menjalankan ibadah haji ke Mekah. Armada kapal kepunyaan Sultan Suluk dari Mindanao, Filipina Selatan ini membawa dua orang penumpang VIP yaitu Datuk Abdul Rasyid dan Datuk Muharam. Kedua Datuk ini masing-masing menumpang kapal besar dan mewah. Kapal-kapal lainnya hanya sebagai pengawal untuk menjaga keselamatan perjalanan anak Raja yang salah satunya putra makhkota untuk menunaikan ibadah haji.
Setelah iring-iringan kapal sampai di Selat Makasar (laut Sulawesi), mereka diserang angin topan yang hebat. Semua kapal yang mengawal porak- poranda dan tenggelam di atas lautan yang sedang menggila. Hanya dua kapal saja yang berhasil selamat dari bahaya topan, meskipun keadaannya rusak berat dan pecah-pecah. Kedua Kapal tersebut adalah kapal yang dimiliki dan ditumpangi oleh Datuk Muharam yang terdampar di muara Sungai Mahakam(Kalimantan Timur), dan kapal yang dimiliki dan ditumpangi Datuk Abdur Rasyid terdampar di muara Sungai Barito (Kalimantan Selatan).
Datuk Muharam yang kapalnya terdampar di muara Sungai Mahakam, rupanya bernasib baik karena menikah dengan Aji Maimunah, adik perempuan Sultan Kutai yang bernama Sultan Idris.
Berbeda dengan Datuk Muharam, Datuk Abdur Rasyid yang kapalnya terdampar di muara Sungai Barito (muara Banjar), bernasib kurang mujur. Ia menetap di Banjarmasin dengan menyamar dan menyembunyikan identitasnya sebagai Putra Mahkota Kesultanan Suluk. Saat itu, Sultan Kerajaan Banjar adalah Sultan Tahlilullah (1660-1663M). Ia bersikap tidak begitu manis terhadap orang-orang asal Filipina karena terkenal sebagai bajak laut yang sering merampok kapal-kapal asing termasuk kapal-kapal dari Banjar.[12]
Datuk Abdur Rasyid kemudian menikah dengan Mariyah Raktiyah puteri Tuan Penghulu Putih yang bernama Abdurrahim bin Kiayi Warya. Dari perkawinannya itu lahirlah lima orang anak. Anak sulung perempuan bernama Galuh Saerah kemudian berturut-turut hingga bungsu, Khalifah Mugsin, Khatib Yusuf, Kyai Rangga Kusuma, dan Haji Abu Bakar. Dari Haji Abu Bakar inilah kemudian melahirkan Abdullah yang kelak menjadi ayah dari Syekh Arsyad.
Pendidikan dasar Syekh Muhammad Arsyad di masa kecil tidak diketahui secara jelas, namun secara jelas diketahui bahwa pendidikan Syekh Arsyad pernah ia tempuh di Mekah dan Madinah. Sayangnya, beberapa sumber tidak menyebutkan tahun berapa Muhammad Arsyad Syekh Arsyad berada di Mekah dan Madinah. Satu-satunya informasi tentang masa belajar Syekh Arsyad adalah sekira 30 tahun di Mekah dan sekira 5 tahun di Madinah. Selama di Mekah, ia tinggal di rumah yang dibeli oleh Sultan Banjar yang terletak di kampung Syami’ah yang disebut dengan nama Bahrat Banjar.[13]
BEBERAPA KUTIPAN DARI KITAB SABILAL MUHTADIN
Membaca al-Quran dengan suara nyaring
Al-Banjari berkata:
“dan haram atas tiap-tiap seseorang membaca dengan nyaring diluar sembahyang atau didalam sembahyang jika sangat memberi taswis ia akan orang yang sembahyang atau membaca Quran atau yang muthalaah kitab atau yang tidur atau barang sebagainya. Adapun jika tiada sangat ia memberi taswis maka tiada haram”.[14]
Masalah ini dimuat al-Banjari dalam bab sifat-sifat salat pada pasal segala yang makruh di dalam salat dalam kitab Sabilal Muhtadin juz I. Setelah menunjuk beberapa hal yang makruh dalam salat seperti berpaling kekiri dan kekanan, meletakkan tangan di mulut, berdiri dengan kaki sebelah, menggulung sarung, ujung surban atau menyisingkan lengan baju, meludah, dan sebagainya, beliau juga memakruhkan menyaringkan bacaan pada tempat yang semestinya perlahan, perlahan pada tempat yang semestinya dibaca nyaring, dan makruh bagi makmum membaca suara nyaring dibelakang imamnya karena menyalahi itba' (ikutan).[15]
Hukum Penguburan Mayit memakai tabala
Al-Banjari berkata:
”Dan makruh lagi bid’ah menanamkan mayat di dalam tabala, melainkan karena uzur seperti tanah yang berair atau pada tanah yang rupui atau ada mayat itu perempuan yang tidak hadir mahramnya atau takut akan binatang buas yang mengorek tanah kubur itu, maka tiada makruh, hanya wajib tabala itu jika takut akan binatang buas seperti yang terdahulu kenyatannya.[16]
Makruh lagi bid’ah bagi yang kematian
membikin makanan untuk pelayat. Al-Banjari berkata:
”Dan makruh lagi bid’ah bagi yang kematian memperbuat makanan yang disarukannya segala manusia atau makanan dia dahulu dari menanam dia dan kemudian daripadanya seperti “yang telah teradat.” Dan demikian lagi makruh lagi bid’ah bagi segala mereka yang disarunya memperkenankan sarunya dan haram menyediakan makanan akan yang menangis dengan menyarik karena yang demikian itu menolong atas berbuat maksiat.[17]
Dalam
konteks menyajikan makanan untuk para peziarah, Syekh Muhammad Arsyad
Al-Banjari menjelaskan bahwa pembawa makanan seharusnya adalah orang desa yang
memberi makan keluarga almarhum. Hal ini dilakukan agar keluarga almarhum dapat
makan dengan baik, mengingat mereka sibuk dengan urusan kematian dan tidak
memiliki waktu untuk memasak. Namun, disarankan untuk tidak menyiapkan makanan
dengan niatan untuk mengekspresikan kemarahan atau kesedihan.
Beberapa kebiasaan yang berkaitan dengan penghormatan terhadap kuburan antara lain adalah mengangkat kuburan lebih tinggi dari yang seharusnya, membangun pagar dan melukis makam, membangun rumah di atas kuburan, serta duduk dan makan di kuburan. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai hal-hal ini, menjelaskan bahwa beberapa kebiasaan tersebut bertentangan dengan ajaran agama.
Pemikiran dalam Aspek Tasawuf
Meskipun lebih dikenal sebagai ulama Syariat, Syekh Arsyad juga mandalam dalam bidang Tasawuf. Bahkan, Azyumardi Azra menyebutnya sebagai Khalifah Tarikat Sammaniah yang dianggap sebagai ulama paling bertanggung jawab atas tersebarnya tarikat Sammaniah di Kalimantan, suatu aliran tarekat yang sangat mewarnai Tasawuf di Nusantara (Indonesia, Malaysia, Philifina Selatan, Pattani, Brunai Darussalam dan Singapura) sekitar Abad 18. Menurut keturunannya, yang berada di kampung ‘Dalam Pagar’, Syekh Arsyad mengajarkan Tarikat Khalwatiyah,[18] sementara menurut keturunannya yang berada di Marabahan, Syekh Arsyad mengajarkan Tarikat Syadzaliyah,[19] tetapi menurut Karel A. Steenbrink bukan Syadzaliyah murni melainkan Syadzaliyah yang sudah dalam versi Sammaniah.[20] Untuk lebih jelasnya, ajaran Tasawuf Syekh Muhammad Arsyad Syekh Arsyad bisa kita simak pada dua buah kitabnya Risalah Fath al-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan dan Risalah Kanzul al-Ma’rifah.
Dalam Risalah Fath al- Rahman, yang merupakan terjemahan dan syarah dari karya Syekh Ruslan, memuat uraian berbagai ‘syirik hati’ dan bagaimana cara membuangnya dengan meningkatkan tauhid asma, tauhid af’al, tauhid sifat, sampai kepada tauhid zat, yang membawa orang berpindah dari maqam farq ke maqam jama’ dan orang yang sampai ke tingkat maqam jama’ dinamakan arif billah. Ilmunya tidak lagi diperoleh dari belajar melainkan diterima langsung atau disebut ilmu ladunni. Untuk memperolehnya, seorang harus menjalaninya mulai dari syariat, meningkat ke thariqat dan berakhir ke hakikat. Dalam kitab tersebut juga dikemukakan pengertian mukasyafah, musyahadah, muayanah. Semua ini hanya dapat dicapai melalui akal batin bukan akal jasmani. Rsalah juga menerangkan pengertian iradah, murid dan murad, arti ilmul yakin (ilmu dasar), ainul yakin (ilmu menengah) dan haqqul yakin (ilmi tertinggi). Khatir bersumber dari lima sumber : (1) Rabbani; (2) Malaki; (3) Akli; (4) Nafsari; (5) Insani. Seorang suluk (orang yang mendekatkan diri kepada Allah) ada dua macam: (1) Muttaqi; (2) Muhibbu, dan orang beribadah terdiri dari ‘aliq, arif, khawas dan khawasul khawas.[21]
Pemikiran Syekh Arsyad Risalah Kanzul al-Ma’rifah berisi tata cara berzikir dalam thariqat, yaitu tentang adab zikir nafi itsbat yakni kalimat La Ilaha Illallah, apabila sudah mantap maka meningkat kepada zikir dalam. Menurutnya, zikir itu ada dua macam, yakni fana semua sifat basyariah dan fana ma siwallah, menurut Asywadie Syukur ajaran ini lebih dekat dalam bentuk zikir dari tarikat Syadzaliyah.[22]
Semua pemikiran Syekh Arsyad ini, baik aspek aqidah dan syariah, maupun dakwah dan tasawuf merupakan butir-butir pemikiran yang bisa mengembangkan aspek intelektual dan rohaniah umat. Meskipun demikian, pemikiran aqidah tidak terlalu bisa mengembangkan akar dari pengembangan intelektual karena lebih bersifat doktrin dan normatif walaupun tetap ilmiah. Demikian pula dalam aspek syariat, kajian-kajiaannya masih dominan aspek doktrin dan normatifnya daripada aspek ilmiahnya. Ini dapat dilihat pada upaya mengkompilasi berbagai pemikiran para ahli seperti Zakaria al-Anshari, Zamal Ramli, Bin Hajar al-Haitami al-Rafi’i dan Noruddin al-Raniri, sambil ia menambah beberapa hasil pemikirannya yang berasal dari dialektika terhadap realitas atau kondisi sosial masyarakat Banjar.
[1] Saghir Abdullah, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Matahari Islam, (Pontianak: Sabar, 1983), h.12.
[2] KH. Sifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: PT. Al Ma’rif, 1979), h.176
[3] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, (Bandung: Mizan, 1998), Cet. IV, h.251
[4] Kitab Sabilal al-Muhtadin ditulis pada tahun 1193 H atau 1779 M dan selesai penulisannya pada tanggal 27 Rabi’ al-Akhir 1195 H (22 April 1781 M) atas permintaan Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidillah. Lih. Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al- Banjari (Tuan Haji Besar) (Banjarmasin: Sullamul Ulum, 1980), h.54. Kitab ini mengundang pembahasan Fiqh. Dari kitab ini bisa dilihat beberapa ijtihad al-Banjari dalam menghadapi problem lokal. Contoh: al-Banjari menulis hukum memakan anak wanyi (lebah) dan hukum memakai tabala (peti mati) untuk penguburan jenazah.
[5] Humaidy, “Peran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Pembaharuan Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan Penghujung Abad XVIII”, Tesis (Yogyakarta: Perpustakaan IAIN Sunan Kalijaga, 2004), h. 5
[6] Barsihannor. 2010. “M. ARSYAD ALBANJARI (Pejuang Dan Penyebar Islam Di Kalimantan).” Jurnal Adabiyah X(2):170–81.
[7] Ahyat, I. T. A.Syamtasiyah. 2015. “Perkembangan Islam Di Kesultanan Banjarmasin.” SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial Dan Kemanusiaan 8(1):11–20
[8] Hadi, Abdul. 2011. “Tarikat Syekh Muhammad Arsyad al Banjari: Telaah Atas Kitab Kanz Al-Ma’rifah.” AlBanjari 10(1):91–116
[9] Ahyat, I. T. A.Syamtasiyah. 2015. “Perkembangan Islam Di Kesultanan Banjarmasin.” SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial Dan Kemanusiaan 8(1):11–20
[10] Ahyat, I. T. A.Syamtasiyah. 2015. “Perkembangan Islam Di Kesultanan Banjarmasin.” SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial Dan Kemanusiaan 8(1):11–20
[11] Ahyat, I. T. A.Syamtasiyah. 2015. “Perkembangan Islam Di Kesultanan Banjarmasin.” SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial Dan Kemanusiaan 8(1):11–20
[12] M. Luthfi Sidik, Silsilah Siti Fatimah, (t.tp: Salatiga, 1992), h. 3
[13] Anita Ariani, Gerakan Pemurnian Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di Kalimantan Selatan, AL-FIKR Volume 14 Nomor 3 Tahun 2010, h. 378-380
[14] Muhammad Arsyad al Banjari, Sabilal Muhtadin, Jilid I, (Beirut : Dar al -Fikr, tt), h.247
[15] Muhammad Arsyad al Banjari, Sabilal …… h.244-247
[16] Muhammad Arsyad al Banjari, Sabilal …… h.83
[17] Muhammad Arsyad al Banjari, Sabilal …… h.100
[18] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara, (Bandung: Mizan, 1994), h.253.
[19] Asywadie Syukur, Syekh Muhammad Abdul Karim al-Saman al-Madani, Makalah Kajian Bulanan Ke-Islaman LK-3, Serambi Ummah, Banjarmasin, 6 September 2002, h.4
[20] Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h.92
[21] Asywadie Syukur, Syekh Muhammad Abdul Karim al-Saman al-Madani, Makalah Kajian Bulanan Ke-Islaman LK-3, Serambi Ummah, Banjarmasin, 6 September 2002, h.3
[22] Ibid