BIOGRAFI SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI DAN BEBERAPA KUTIPAN DARI KITAB SABILAL MUHTADIN

 

Penulis: Salahuddin (MAN 1 HSS)

PENDAHULUAN

Di Kalimantan Selatan, tercatat nama seorang ulama besar yang dipandang sebagai tokoh dan aktor sejarah yang sangat berjasa terhadap perkembangan masyarakat Islam di daerah ini. Ulama itu adalah Syekh Muhammad Arsyad Syekh Arsyad (1710-1812) yang dikenal juga sebagai Tuanku Haji Besar dan Datu Kelampayan. Saghir Abdullah, seorang peneliti Kalimantan, menjulukinya sebagai Matahari Islam Nusantara.[1] Sementara KH Sifuddin Zuhri menyebutnya sebagai Mercusuar Islam Kalimantan.[2] Sedangkan Azyumardi Azra memposisikannya sebagai orang yang tidak saja berperan dalam jaringan ulama di Indonesia, tetapi juga sebagai ulama pertama yang mendirikan lembaga-lembaga Islam serta memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan di Kalimantan.[3]

Kiprah Syekh Arsyad tidak saja dikenal di daerah Kalimantan Selatan dan Indonesia tetapi juga pada negeri-negeri jiran seperti Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Hal ini disebabkan karya yang monumental, kitab Sabilal al-Muhtadin[4] banyak dipelajari oleh umat Islam di negara-negara tersebut. Lebih dari itu, kitab ini tersimpan rapi di beberapa perpustakaan besar dunia, seperti Mekkah, Mesir, Turki dan Beirut.[5]

Di antara pembaharuan yang dilakukan oleh Syekh Arsyad, adalah bidang Akidah. Dalam bidang ini, Syekh Arsyad melakukan beberapa kontektualisasi ajaran sesuai dengan kebutuhan masyarakat Banjar saat itu, seperti kritiknya terhadap upacara menyanggar banua (menyelamati kampung) dan membuang Pasilih (membuang sial), Sebagaimana dituangkan dalam salah satu tulisannya, Tuhfah al-Raghibin. Dalam bidang Syariat, Syekh Arsyad menulis kitabnya yang terkenal, Sabil al-Muhtaddin li al-Tafaqquh fi Amr al-Din, dan kitab al-Nikah. Selain itu, ia juga menulis kitab di bidang Dakwah dan Tasawuf. Beranjak dari uraian di atas, tulisan ini berusaha membahas beberapa pokok pemikiran Syekh Arsyad yang berkaitan dengan keagamaan terutama dalam bidang Akidah, Syariat, Dakwah dan Tasawuf.

BIOGRAFI SINGKAT SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI

Syekh Muhammad Arsyad al Banjari, cendikiawan muslim yang sangat tersohor di dunia Islam pada abad ke 18. Ayahnya, Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari bin Saiyid Abu Bakar bin Saiyid Abdullah alAidrus bin Saiyid Abu Bakar as-Sakran bin Saiyid Abdur Rahman as-Saqaf bin Saiyid Muhammad Maula ad-Dawilah al-Aidrus dan keturunan langsung dari Saidina Ali bin Abi Thalib dan Saidatina Fatimah binti Nabi Muhammad S.A.W. (Yusri et al. 2017). Lahir 13 Safar 1122 H/1710 M., di kampung Lok Gabang, Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. (Barsihannor 2010)[6]

Saat pemerintahan Sultan Hamidullah yang bergelar Sultan Kuning (1700-1734), sebagai sultan yang bijaksana dan stabilitas pemerintahannya sangat baik. Pemerintahan yang baik ini, melahirkan inovasi Sultan Hamidullah untuk mengembangkan Islam dengan lebih baik, melalui metode mencari bakat anak negeri, ke desa desa. Ditemukanlah anak desa yang cerdas dan pintar menulis kaligrafi. Anak itu, bernama ‘Muhammad Arsyad’, yang kemudian dididik keislaman dilingkungan istana. Setelah dewasa dinikahkan dengan keluarga sultan. Kemudian diberikan ‘tugas belajar’ ke pusatnya dunia Islam. Makkah dan Madinah, selama 35 tahun. Kemudian, sejak kepulangan Syekh Muhammad Arsyad al Banjari dari menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah, di Kesultanan Banjar Islam berkembang dengan sangat pesat. (Ahyat 2015).[7]

Syekh Muhammad Arsyad al Banjari yang belajar agama Islam di Mekkah 30 tahun dan di Madinah 5 tahun, (1737-1772). Tiga disiplin ilmu dalam Islam yang dikembangkan, meliputi: (1) aqidah termaktub dalam kitab Tuhfat al-Rāghibīn, (2) syariah pada kitab Sabīl al-Muhtadīn, (Mujiburrahman 2013), dan (3) tasawuf, ada pada kitab kanzal-ma'rifah. (Hadi 2011).[8]

Untuk mendidik dan membina masyarakat Islam, Syekh Muhammad Arsyad al Banjari mendirikan pondok pesantren, untuk menampung para santri yang datang menuntut ilmu dari berbagai pelosok di Kalimantan. Dari sini lahirlah ulama-ulama yang akan mengembangkan Islam dengan syiar dan dakwah Islam di Kalimantan, di antaranya: Syekh Syihabuddin dan Syekh Abu Zu’ud, keduanya putra Syekh Muhammad Arsyad al Banjari; serta Syekh Muhammad as-’Ad, cucu Syekh Muhammad Arsyad al Banjari (Ahyat 2015).[9]

Tersebarnya agama Islam ke segala pelosok Kalimantan merupakan usaha Syekh Muhammad Arsyad al Banjari dengan anakcucunya, yang sudah mempunyai ilmu pengetahuan hasil didikannya sendiri. Mereka menyebarkan Islam ke Pagatan, Taniran (Hulu Sungai Selatan), Amuntai (Hulu Sungai Utara), Marabahan (Barito Kuala), dan Martapura (Kabupaten Banjar). (Ahyat 2015).[10]

Abdullah (1990) menyebutkan bahwa agama Islam juga berkembang sampai Pontianak (Kalimantan Barat). Di antara anak cucu Syekh Muhammad Arsyad al- Banjari yang terkenal dan berjasa di luar Kalimantan adalah: Haji Muhammad Thaib di Kedah, Malaysia; Haji Abdurahman Siddiq di Sepat Tembilahan, Sumatera; dan Haji Chalil di Bangil, Jawa Timur (Ahyat 2015).[11]

VERSI LAIN TENTANG SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI

Nama lengkap Syekh Arsyad adalah Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abu Bakar bin Abdurrasyid alias Abdul Haris. Silsilah lengkapnya ditelusuri hingga Nabi Muhammad saw.

Datuk (kakek) Syekh Arsyad adalah Abdul Haris. Ia diduga orang yang pertama kali menetap di Muara Banjar. Diceritakan bahwa akibat kapalnya pecah, Abdul Haris terdampar di muara Sungai Barito. Sekitar tahun 1650-an, tercatat dalam sejarah tentang adanya armada kapal yang terdiri dari puluhan kapal bermaksud untuk menjalankan ibadah haji ke Mekah. Armada kapal kepunyaan Sultan Suluk dari Mindanao, Filipina Selatan ini membawa dua orang penumpang VIP yaitu Datuk Abdul Rasyid dan Datuk Muharam. Kedua Datuk ini masing-masing menumpang kapal besar dan mewah. Kapal-kapal lainnya hanya sebagai pengawal untuk menjaga keselamatan perjalanan anak Raja yang salah satunya putra makhkota untuk menunaikan ibadah haji.

Setelah iring-iringan kapal sampai di Selat Makasar (laut Sulawesi), mereka diserang angin topan yang hebat. Semua kapal yang mengawal porak- poranda dan tenggelam di atas lautan yang sedang menggila. Hanya dua kapal saja yang berhasil selamat dari bahaya topan, meskipun keadaannya rusak berat dan pecah-pecah. Kedua Kapal tersebut adalah kapal yang dimiliki dan ditumpangi oleh Datuk Muharam yang terdampar di muara Sungai Mahakam(Kalimantan Timur), dan kapal yang dimiliki dan ditumpangi Datuk Abdur Rasyid terdampar di muara Sungai Barito (Kalimantan Selatan).

Datuk Muharam yang kapalnya terdampar di muara Sungai Mahakam, rupanya bernasib baik karena menikah dengan Aji Maimunah, adik perempuan Sultan Kutai yang bernama Sultan Idris.

Berbeda dengan Datuk Muharam, Datuk Abdur Rasyid yang kapalnya terdampar di muara Sungai Barito (muara Banjar), bernasib kurang mujur. Ia menetap di Banjarmasin dengan menyamar dan menyembunyikan identitasnya sebagai Putra Mahkota Kesultanan Suluk. Saat itu, Sultan Kerajaan Banjar adalah Sultan Tahlilullah (1660-1663M). Ia bersikap tidak begitu manis terhadap orang-orang asal Filipina karena terkenal sebagai bajak laut yang sering merampok kapal-kapal asing termasuk kapal-kapal dari Banjar.[12]

Datuk Abdur Rasyid kemudian menikah dengan Mariyah Raktiyah puteri Tuan Penghulu Putih yang bernama Abdurrahim bin Kiayi Warya. Dari perkawinannya itu lahirlah lima orang anak. Anak sulung perempuan bernama Galuh Saerah kemudian berturut-turut hingga bungsu, Khalifah Mugsin, Khatib Yusuf, Kyai Rangga Kusuma, dan Haji Abu Bakar. Dari Haji Abu Bakar inilah kemudian melahirkan Abdullah yang kelak menjadi ayah dari Syekh Arsyad.

Pendidikan dasar Syekh Muhammad Arsyad di masa kecil tidak diketahui secara jelas, namun secara jelas diketahui bahwa pendidikan Syekh Arsyad pernah ia tempuh di Mekah dan Madinah. Sayangnya, beberapa sumber tidak menyebutkan tahun berapa Muhammad Arsyad Syekh Arsyad berada di Mekah dan Madinah. Satu-satunya informasi tentang masa belajar Syekh Arsyad adalah sekira 30 tahun di Mekah dan sekira 5 tahun di Madinah. Selama di Mekah, ia tinggal di rumah yang dibeli oleh Sultan Banjar yang terletak di kampung Syami’ah yang disebut dengan nama Bahrat Banjar.[13]

BEBERAPA KUTIPAN DARI KITAB SABILAL MUHTADIN

Membaca al-Quran dengan suara nyaring Al-Banjari berkata:

“dan haram atas tiap-tiap seseorang membaca dengan nyaring diluar sembahyang atau didalam sembahyang jika sangat memberi taswis ia akan orang yang sembahyang atau membaca Quran atau yang muthalaah kitab atau yang tidur atau barang sebagainya. Adapun jika tiada sangat ia memberi taswis maka tiada haram”.[14]

Masalah ini dimuat al-Banjari dalam bab sifat-sifat salat pada pasal segala yang makruh di dalam salat dalam kitab Sabilal Muhtadin juz I. Setelah menunjuk beberapa hal yang makruh dalam salat seperti berpaling kekiri dan kekanan, meletakkan tangan di mulut, berdiri dengan kaki sebelah, menggulung sarung, ujung surban atau menyisingkan lengan baju, meludah, dan sebagainya, beliau juga memakruhkan menyaringkan bacaan pada tempat yang semestinya perlahan, perlahan pada tempat yang semestinya dibaca nyaring, dan makruh bagi makmum membaca suara nyaring dibelakang imamnya karena menyalahi itba' (ikutan).[15]

Hukum Penguburan Mayit memakai tabala Al-Banjari berkata:

”Dan makruh lagi bid’ah menanamkan mayat di dalam tabala, melainkan karena uzur seperti tanah yang berair atau pada tanah yang rupui atau ada mayat itu perempuan yang tidak hadir mahramnya atau takut akan binatang buas yang mengorek tanah kubur itu, maka tiada makruh, hanya wajib tabala itu jika takut akan binatang buas seperti yang terdahulu kenyatannya.[16]

Makruh lagi bid’ah bagi yang kematian membikin makanan untuk pelayat. Al-Banjari berkata:

”Dan makruh lagi bid’ah bagi yang kematian memperbuat makanan yang disarukannya segala manusia atau makanan dia dahulu dari menanam dia dan kemudian daripadanya seperti “yang telah teradat.” Dan demikian lagi makruh lagi bid’ah bagi segala mereka yang disarunya memperkenankan sarunya dan haram menyediakan makanan akan yang menangis dengan menyarik karena yang demikian itu menolong atas berbuat maksiat.[17]

Dalam konteks menyajikan makanan untuk para peziarah, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari menjelaskan bahwa pembawa makanan seharusnya adalah orang desa yang memberi makan keluarga almarhum. Hal ini dilakukan agar keluarga almarhum dapat makan dengan baik, mengingat mereka sibuk dengan urusan kematian dan tidak memiliki waktu untuk memasak. Namun, disarankan untuk tidak menyiapkan makanan dengan niatan untuk mengekspresikan kemarahan atau kesedihan.

Beberapa kebiasaan yang berkaitan dengan penghormatan terhadap kuburan antara lain adalah mengangkat kuburan lebih tinggi dari yang seharusnya, membangun pagar dan melukis makam, membangun rumah di atas kuburan, serta duduk dan makan di kuburan. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai hal-hal ini, menjelaskan bahwa beberapa kebiasaan tersebut bertentangan dengan ajaran agama.

Pemikiran dalam Aspek Tasawuf

Meskipun lebih dikenal sebagai ulama Syariat, Syekh Arsyad juga mandalam dalam bidang Tasawuf. Bahkan, Azyumardi Azra menyebutnya sebagai Khalifah Tarikat Sammaniah yang dianggap sebagai ulama paling bertanggung jawab atas tersebarnya tarikat Sammaniah di Kalimantan, suatu aliran tarekat yang sangat mewarnai Tasawuf di Nusantara (Indonesia, Malaysia, Philifina Selatan, Pattani, Brunai Darussalam dan Singapura) sekitar Abad 18. Menurut keturunannya, yang berada di kampung ‘Dalam Pagar’, Syekh Arsyad mengajarkan Tarikat Khalwatiyah,[18] sementara menurut keturunannya yang berada di Marabahan, Syekh Arsyad mengajarkan Tarikat Syadzaliyah,[19] tetapi menurut Karel A. Steenbrink bukan Syadzaliyah murni melainkan Syadzaliyah yang sudah dalam versi Sammaniah.[20] Untuk lebih jelasnya, ajaran Tasawuf Syekh Muhammad Arsyad Syekh Arsyad bisa kita simak pada dua buah kitabnya Risalah Fath al-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan dan Risalah Kanzul al-Ma’rifah.

Dalam Risalah Fath al- Rahman, yang merupakan terjemahan dan syarah dari karya Syekh Ruslan, memuat uraian berbagai ‘syirik hati’ dan bagaimana cara membuangnya dengan meningkatkan tauhid asma, tauhid af’al, tauhid sifat, sampai kepada tauhid zat, yang membawa orang berpindah dari maqam farq ke maqam jama’ dan orang yang sampai ke tingkat maqam jama’ dinamakan arif billah. Ilmunya tidak lagi diperoleh dari belajar melainkan diterima langsung atau disebut ilmu ladunni. Untuk memperolehnya, seorang harus menjalaninya mulai dari syariat, meningkat ke thariqat dan berakhir ke hakikat. Dalam kitab tersebut juga dikemukakan pengertian mukasyafah, musyahadah, muayanah. Semua ini hanya dapat dicapai melalui akal batin bukan akal jasmani. Rsalah juga menerangkan pengertian iradah, murid dan murad, arti ilmul yakin (ilmu dasar), ainul yakin (ilmu menengah) dan haqqul yakin (ilmi tertinggi). Khatir bersumber dari lima sumber : (1) Rabbani; (2) Malaki; (3) Akli; (4) Nafsari; (5) Insani. Seorang suluk (orang yang mendekatkan diri kepada Allah) ada dua macam: (1) Muttaqi; (2) Muhibbu, dan orang beribadah terdiri dari ‘aliq, arif, khawas dan khawasul khawas.[21]

 Pemikiran Syekh Arsyad Risalah Kanzul al-Ma’rifah berisi tata cara berzikir dalam thariqat, yaitu tentang adab zikir nafi itsbat yakni kalimat La Ilaha Illallah, apabila sudah mantap maka meningkat kepada zikir dalam. Menurutnya, zikir itu ada dua macam, yakni fana semua sifat basyariah dan fana ma siwallah, menurut Asywadie Syukur ajaran ini lebih dekat dalam bentuk zikir dari tarikat Syadzaliyah.[22]

Semua pemikiran Syekh Arsyad ini, baik aspek aqidah dan syariah, maupun dakwah dan tasawuf merupakan butir-butir pemikiran yang bisa mengembangkan aspek intelektual dan rohaniah umat. Meskipun demikian, pemikiran aqidah tidak terlalu bisa mengembangkan akar dari pengembangan intelektual karena lebih bersifat doktrin dan normatif walaupun tetap ilmiah. Demikian pula dalam aspek syariat, kajian-kajiaannya masih dominan aspek doktrin dan normatifnya daripada aspek ilmiahnya. Ini dapat dilihat pada upaya mengkompilasi berbagai pemikiran para ahli seperti Zakaria al-Anshari, Zamal Ramli, Bin Hajar al-Haitami al-Rafi’i dan Noruddin al-Raniri, sambil ia menambah beberapa hasil pemikirannya yang berasal dari dialektika terhadap realitas atau kondisi sosial masyarakat Banjar.



[1] Saghir Abdullah, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Matahari Islam, (Pontianak: Sabar, 1983), h.12.

[2] KH. Sifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: PT. Al Ma’rif, 1979), h.176

[3] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, (Bandung: Mizan, 1998), Cet. IV, h.251

[4] Kitab Sabilal al-Muhtadin ditulis pada tahun 1193 H atau 1779 M dan selesai penulisannya pada tanggal 27 Rabi’ al-Akhir 1195 H (22 April 1781 M) atas permintaan Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidillah. Lih. Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al- Banjari (Tuan Haji Besar) (Banjarmasin: Sullamul Ulum, 1980), h.54. Kitab ini mengundang pembahasan Fiqh. Dari kitab ini bisa dilihat beberapa ijtihad al-Banjari dalam menghadapi problem lokal. Contoh: al-Banjari menulis hukum memakan anak wanyi (lebah) dan hukum memakai tabala (peti mati) untuk penguburan jenazah.

[5] Humaidy, “Peran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Pembaharuan Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan Penghujung Abad XVIII”, Tesis (Yogyakarta: Perpustakaan IAIN Sunan Kalijaga, 2004), h. 5

[6] Barsihannor. 2010. “M. ARSYAD ALBANJARI (Pejuang Dan Penyebar Islam Di Kalimantan).” Jurnal Adabiyah X(2):170–81.

[7] Ahyat, I. T. A.Syamtasiyah. 2015. “Perkembangan Islam Di Kesultanan Banjarmasin.” SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial Dan Kemanusiaan 8(1):11–20

[8] Hadi, Abdul. 2011. “Tarikat Syekh Muhammad Arsyad al Banjari: Telaah Atas Kitab Kanz Al-Ma’rifah.” AlBanjari 10(1):91–116

[9] Ahyat, I. T. A.Syamtasiyah. 2015. “Perkembangan Islam Di Kesultanan Banjarmasin.” SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial Dan Kemanusiaan 8(1):11–20

[10] Ahyat, I. T. A.Syamtasiyah. 2015. “Perkembangan Islam Di Kesultanan Banjarmasin.” SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial Dan Kemanusiaan 8(1):11–20

[11] Ahyat, I. T. A.Syamtasiyah. 2015. “Perkembangan Islam Di Kesultanan Banjarmasin.” SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial Dan Kemanusiaan 8(1):11–20

[12] M. Luthfi Sidik, Silsilah Siti Fatimah, (t.tp: Salatiga, 1992), h. 3

[13] Anita Ariani, Gerakan Pemurnian Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di Kalimantan Selatan, AL-FIKR Volume 14 Nomor 3 Tahun 2010, h. 378-380

[14] Muhammad Arsyad al Banjari, Sabilal Muhtadin, Jilid I, (Beirut : Dar al -Fikr, tt), h.247

[15] Muhammad Arsyad al Banjari, Sabilal …… h.244-247

[16] Muhammad Arsyad al Banjari, Sabilal …… h.83

[17] Muhammad Arsyad al Banjari, Sabilal …… h.100

[18] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara, (Bandung: Mizan, 1994), h.253.

[19] Asywadie Syukur, Syekh Muhammad Abdul Karim al-Saman al-Madani, Makalah Kajian Bulanan Ke-Islaman LK-3, Serambi Ummah, Banjarmasin, 6 September 2002, h.4

[20] Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h.92

[21] Asywadie Syukur, Syekh Muhammad Abdul Karim al-Saman al-Madani, Makalah Kajian Bulanan Ke-Islaman LK-3, Serambi Ummah, Banjarmasin, 6 September 2002, h.3

[22] Ibid


DOWNLOAD DISINI

KOMPETENSI KEPRIBADIAN GURU

KOMPETENSI KEPRIBADIAN GURU

KOMPETENSI KEPRIBADIAN GURU

oleh: Salahuddin (Gr.MAN1HSS)

Kompetensi adalah kemampuan dalam melakukan seperangkat tugas yang membutuhkan integrasi pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Sedangkan kompeten memiliki arti kemampuan dalam melakukan peran secara efektif pada suatu konteks tertentu, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Rina Febriana dalam bukunya bertajuk Kompetensi Guru.

Melansir artikel resmi milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tertulis bahwa ada begitu banyak guru-guru di Indonesia telah mendapatkan sertifikat sertifikasi. Yang secara tidak langsung, sertifikat tersebut menyatakan bahwa seorang guru layak disebut sebagai tenaga pendidik yang profesional. Guru yang profesional dan kompeten tentunya menerapkan standar-standar kompetensi guru setiap bertugas.

Dr. Rina juga menjelaskan tentang jenjang pendidikan seorang tenaga pendidik. Seorang guru haruslah memiliki kualifikasi akademik minimal Sarjana atau Diploma IV yang relevan sehingga dapat menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran.

Terkait dengan kompetensi guru, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, adapun macam-macam kompetensi yang harus dimiliki oleh tenaga guru antara lain: kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial yang diperoleh melalui pendidikan profesi.[1]

Pelaksanaan tugas sebagai guru harus didukung oleh suatu perasaan bangga akan tugas yang di percayakan kepadanya untuk mempersiapkan generasi kualitas masa depanbangsa. Walaupun berat tantangan dan rintangan yang di hadapi dalam pelaksananan tugasnya harus tetap tegar dalam melaksanakan tugas sebagai seorang guru.

Pendidikan adalah proses yang direncanakan agar semua berkembang melalui proses pembelajaran. Guru sebagai pendidik harus dapat memengaruhi kearah proses itu sesuai dengan tata nilai yang di anggap baik dan berlaku dalam masyarakat.

Tata nilai termasuk norma, moral, estetika, dan ilmu pengetahuan, memengaruhi perilaku etik siswa sebagai pribadi dan sebagai anggota masyarakat. Penerapan disiplin yang baik dalam proses pendidikan akan menghasilkan sikap mental,watak, dan kepribadian siswa yang kuat.

Guru di tuntut harus mampu membelajarkan kepada siswanya tentang kedisiplinan diri, belajar membaca, mencintai buku, menghargai waktu, belajar bagaimana cara belajar, mematuhi aturan/tata tertib dan belajar bagaimana harus berbuat. Semuanya itu akan berhasil apa bila guru juga disipli dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.[2]

Menurut Syaiful Sagala, Kompetensi Kepribadian, dilihat dari aspek psikologis kompetensi kepribadian guru menunjukkan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian a) mantap dan stabil yaitu memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai norma hukum, norma sosial, dan etika yang berlaku, b) dewasa yang berarti mempunyai kemandirian untuk bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai guru, c) arif dan bijaksana yaitu tampilannya bermanfaat bagi peserta peserta didik, sekolah, dan masyarakat dengan menunjukkan keterbukaan dalam berfikir dan bertindak, d) berwibawa yaitu perilaku guru yang disegani sehingga berpengaruh positif terhadap peserta didik, dan e) memiliki akhlak mulia dan memiliki perilaku yang dapat diteladani oleh peserta didik, bertindak sesuai norma religius, jujur, ikhlas, dan suka menolong.[3]

Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa serta menjadi teladan dan berakhlak mulia. Berikut subkompetensi dalam kompetensi kepribadian:

a.   Memiliki kepribadian yang mantap dan stabil, yaitu bertindak sesuai dengan norma hukum dan norma sosial, memiliki rasa bangga sebagai guru serta memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai norma.

b.    Memiliki kepribadian yang dewasa, yaitu menampilkan kemandirian dengan bertindak sebagai pendidik dan memiliki semangat kerja sebagai guru.

c.   Memiliki kepribadian yang arif dengan bertindak berdasarkan kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat serta bertindak dan memiliki pola pikir yang terbuka.

d.    Memiliki kepribadian yang berwibawa, yaitu memiliki perilaku yang disegani dan memberikan berpengaruh positif terhadap peserta didik.

e.  Berakhlak mulia dan dapat menjadi teladan, yaitu dengan bertindak sesuai dengan norma agama dan berperilaku yang layak diteladani peserta didik.[4]

 

Kompetensi Guru Abad 21

Kompetensi guru abad 21 selalu menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini. Bagaimana pun sosok guru harus memiliki kecakapan sesuai kebutuhan jamannya. Murid-murid kita adalah generasi millenial dan generasi Z, yang bisa dikatakan telah dan akan menjalani kehidupan lebih modern dari yang dialami oleh para guru.

Kecakapan abad 21 telah menjadi realitas pendidikan global yang sudah sewajarnya diadopsi oleh para guru dengan cara menguasai dan menerapkan teknologi, informasi dan komunikasi dalam proses kegiatan belajar mengajar. Tetyana Blyznyuk membagi kompetensi guru abad 21 ke dalam beberapa bentuk, yaitu:

 (1) Information

Pendidik memiliki kemampuan literasi data (kemampuan mencari, memilih, memilah, mengevaluasi, mengelola informasi yang cocok untuk pembelajaran).

 (2) Communication

Merupakan keterampilan untuk berinteraksi, terlibat, berbagi, dan kerja sama melalui teknologi digital.

 (3) Edocational content creation

Merupakan kemampuan pendidik untuk dapat menciptakan konten pembelajaran digital (program aplikasi pembelajaran, presentasi interaktif, animasi pembelajaran, dan sebagainya). Security, pendidik memiliki kemampuan untuk menjamin perlindungan terhadap dampak produk teknologi bagi anak didik dalam proses pembelajaran.

 (4) Educational problem solving

Memecahkan masalah dan mengatasi persoalan teknis, dapat mengidentifikasi respon dan kebutuhan teknologi yang diperlukan dalam pembelajaran, mampu mengidentifikasi kelemahan-kelemahan teknologi digital dalam favorit. Membuat pola berpikir kompetitif hanya mencerdaskan anak didik pada 4 Kompetensi guru dan contoh penerapannya yang kami sajikan tentunya bukan untuk dihafalkan oleh bapak/ibu guru. Namun kompetensi yang harus dimiliki guru adalah untuk benar-benar diimplementasikan dalam proses belajar-mengajar sehari-hari.[5]

 

 


[5] https://www.haidunia.com/4-kompetensi-guru/


Silakan Download pada link: DOWNLOAD DOC 

SEJARAH PENOLAKAN DAN PENDAPAT TOKOH BARAT TERHADAP METODE HAFALAN DALAM  SISTEM PENDIDIKAN

SEJARAH PENOLAKAN DAN PENDAPAT TOKOH BARAT TERHADAP METODE HAFALAN DALAM SISTEM PENDIDIKAN

Oleh: Salahuddin (Guru MAN 1 HSS)

A.     Menelusuri Fakta Sejarah Munculnya Penolakan Terhadap Metode Hafalan Dalam Sistem Pendidikan

Penolakan terhadap metode hapalan dalam sistem pendidikan telah ada sejak lama dan merupakan perdebatan yang kompleks. Ini bukanlah fenomena baru, tetapi telah berkembang seiring dengan perkembangan pendidikan di berbagai budaya dan zaman. Berikut adalah beberapa poin penting dalam sejarah munculnya penolakan terhadap metode hapalan dalam sistem pendidikan:

1.      Filosofi Pendidikan Yunani Kuno: Pendidikan di Yunani kuno, khususnya pada zaman Sokrates, Plato, dan Aristoteles, menekankan pemahaman konsep daripada sekadar menghafalkan informasi. Mereka memandang bahwa pendidikan harus mempromosikan pemikiran kritis, dialog, dan pemahaman mendalam terhadap materi pelajaran.

2.      Pendidikan Renaissance: Selama periode Renaissance di Eropa (abad ke-14 hingga ke-17), pendidikan lebih fokus pada pengembangan kreativitas, penelitian, dan pemahaman. Pemikir seperti Erasmus dan Montaigne menentang pendekatan pendidikan yang hanya mengajarkan hafalan teks klasik.

3.      Pendidikan Progresif: Gerakan pendidikan progresif yang dimulai pada awal abad ke-20 oleh tokoh-tokoh seperti John Dewey mengedepankan pemahaman konsep dan pembelajaran yang aktif. Mereka menentang pendekatan tradisional yang hanya mengharuskan siswa menghafal fakta tanpa pemahaman yang mendalam.

4.      Pendekatan Konstruktivisme: Teori konstruktivisme dalam pendidikan, yang dikembangkan oleh Jean Piaget dan Lev Vygotsky, menekankan pentingnya pembelajaran yang berasal dari pemahaman sendiri melalui interaksi dengan materi pelajaran, bukan sekadar hapalan.

5.      Revolusi Pendidikan Digital: Berkembangnya teknologi digital telah mengubah cara kita mengakses dan memproses informasi. Ini telah mendorong pendekatan pendidikan yang lebih berfokus pada pemahaman dan aplikasi konsep daripada sekadar menghafal.

6.      Gerakan Pendidikan Berbasis Kompetensi: Beberapa sistem pendidikan modern telah beralih ke pendekatan berbasis kompetensi, di mana siswa diukur berdasarkan kemampuan mereka untuk menerapkan pengetahuan dalam situasi dunia nyata daripada sekadar menghafal fakta.

7.      Kritik terhadap Overemphasizing Ujian: Penolakan terhadap metode hapalan juga sering dikaitkan dengan kritik terhadap sistem ujian yang berfokus pada hafalan daripada pemahaman konsep.

Dalam berbagai budaya dan periode sejarah, penolakan terhadap metode hapalan muncul karena keinginan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, pemahaman mendalam, dan kreativitas dalam pendidikan. Meskipun demikian, perdebatan ini juga melibatkan sejumlah sudut pandang yang berbeda, dan ada yang berpendapat bahwa metode hapalan masih memiliki peran penting dalam pendidikan untuk mengingat dan memahami fakta-fakta dasar.[1]

 

B.     Pendapat Para Tokoh Pendidikan Barat Berkenaan Dengan Metode Hapalan Dalam Sistem Pendidikan

Beberapa tokoh terkenal dari Barat telah menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap metode hapalan dalam sistem pendidikan. Berikut ini adalah beberapa di antara mereka:

1.      John Dewey: John Dewey adalah seorang filosof pendidikan Amerika yang sangat berpengaruh. Ia menentang pendekatan pendidikan yang terlalu berfokus pada penghafalan dan lebih menekankan pentingnya pembelajaran berbasis pengalaman. Dewey berpendapat bahwa pendidikan harus mempromosikan pemikiran kritis dan pemecahan masalah. Belajar aktif merupakan perkembangan teori Dewey By Doing (1859-1952). Dewey tidak setuju dengan rote learning “belajar dengan menghafal”. Dewey merupakan pendiri Dewey sehool yang menerapkan prinsip-prinsip “learning by doing” , yaitu siswa perlu terlibat dalam proses belajar secara spontan. Dari rasa keingintahuan siswa dari hal-hal yang belum diketahuinnya mendorong keterlibatannya secara aktif dalam suatu proses belajar.[2]

 

2.      Jean Piaget: Jean Piaget, seorang psikolog perkembangan Swiss yang banyak berkontribusi pada pemahaman tentang bagaimana anak-anak belajar, menentang metode hapalan dalam pendidikan. Ia percaya bahwa anak-anak harus aktif dalam membangun pengetahuan mereka sendiri melalui eksplorasi dan eksperimen. Menurut Jean Piaget, belajar lebih dari sekedar mengingat. Bagi siswa, untuk benar-benar mengerti dan dapat menerapkan ilmu pengetahuan, mereka harus bekerja untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu bagi dirinya sendiri, dan selalu bergulat dengan ide-ide.[3]

 

3.      Maria Montessori: Maria Montessori, seorang dokter Italia yang mengembangkan metode pendidikan Montessori, juga menentang metode hapalan. Metodenya menekankan pembelajaran melalui tangan-on, pemahaman konsep, dan pengembangan keterampilan praktis, bukan sekadar menghafal fakta. Konsep pendidik dalam teori pendidikan Maria Montessori dengan konsep pendidikan pada sekolah tradisional memiliki sebuah perbedaan yang sangat menonjol. Dalam sekolah tradisional, pendidik menguasai kelas dan menjadikan ia sebagai sorotan utama di dalam sebuah ruang kelas sehingga fokus anak hanya tertuju pada pendidik. Hal ini sangat berbeda dengan konsep pendidik yang Maria Montessori sampaikan. Ia mengubah pandangan lama tersebut dan menyebut seorang pendidik dengan sebutan ―kepala sekolah perempuan‖ yang memiliki tugas untuk mendampingi proses belajar anak dan membimbing anak dalam kegiatan belajar mereka selama didalam kelas tersebut.[4]

 

4.      Howard Gardner: Howard Gardner, seorang psikolog perkembangan Amerika, dikenal karena teorinya tentang kecerdasan majemuk. Gardner menentang penilaian pendidikan yang terlalu berfokus pada penghafalan dan menganggap bahwa setiap individu memiliki berbagai jenis kecerdasan yang perlu dihargai dan dikembangkan. Kecerdasan majemuk adalah istilah yang digunakan oleh Howard Gardner untuk menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia itu memiliki banyak kecerdasan, tidak hanya sebatas IQ seperti yang dikenal selama ini. Menurut Gardner, sedikitnya ada sembilan kecerdasan yang dimiliki oleh manusia yaitu kecerdasan linguistik, matematis-logis, ruang-visual (spasial), kinestetik-badani, musikal, interpersonal, dan intrapersonal,  naturalis dan kecerdasan eksistensial.[5]

 

5.      Alfie Kohn: Alfie Kohn adalah seorang penulis dan kritikus pendidikan Amerika yang terkenal karena pandangannya yang kritis terhadap pendidikan tradisional. Ia berpendapat bahwa metode hapalan dapat merusak motivasi intrinsik siswa dan lebih suka pendekatan yang lebih berpusat pada pemahaman dan minat individu.

Intrinsic motivation: When considering (or reconsidering) educational policies and practices, the first question that progressive educators are likely to ask is, “What’s the effect on students’ interest in learning, their desire to continue reading, thinking, and questioning?” This deceptively simple test helps to determine what students will and won’t be asked to do. Thus, conventional practices, including homework, grades, and tests, prove difficult to justify for anyone who is serious about promoting long-term dispositions rather than just improving short-term skills. [6]

6.      Ken Robinson: Sir Ken Robinson adalah seorang pendidik dan penulis terkenal yang dikenal karena menyuarakan perubahan dalam sistem pendidikan. Ia berpendapat bahwa pendidikan harus lebih berfokus pada pengembangan potensi kreatif dan bakat siswa daripada sekadar menghafal informasi. Dalam pidato "Life is your talents discovered" di TEDxLiverpool, Sir Ken Robinson membahas pentingnya menemukan dan mengembangkan bakat kita dalam kehidupan. Dia menyoroti bahwa setiap orang memiliki bakat unik dan potensi yang dapat memberi arti pada hidup mereka. Robinson mengkritik pendidikan tradisional yang sering kali tidak memprioritaskan penemuan bakat individual. Dia berpendapat bahwa sistem pendidikan sering kali mempromosikan konformitas dan menekankan pada pencapaian akademik standar yang sempit. Hal ini dapat menyebabkan banyak orang merasa terjebak dalam pekerjaan yang tidak memanfaatkan bakat mereka atau tidak memberi mereka kepuasan pribadi.[7]

Pandangan-pandangan ini mencerminkan berbagai pendekatan alternatif dalam pendidikan yang menekankan pemahaman, kreativitas, dan pengembangan potensi individu daripada sekadar menghafal informasi. Tetapi perlu diingat bahwa pandangan ini juga bisa kontroversial, dan ada berbagai pendapat tentang apa yang paling efektif dalam konteks pendidikan.

 

 

FOTENOTE:


[1] ChatGPT, https://chat.openai.com/c/6b079523-bb6e-4002-b5ea-9b919ab97585 , diakses: 26 September 2023 jam: 21:20 Wita

[2] Yuberti, Teori Pembelajaran dan Pengembangan Bahan Ajar Dalam Pendidikan, Penerbit:  Anugrah Utama Raharja (AURA), Cetakan Agustus 2014, h. 129

[3] Nurhadi, Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya Dalam KBK ( Malang: Universitas Islam negeri Malang, 2004), h. 33

[4] Montessori, Metode Montessori, Panduan Wajib Untuk Guru Dan Orangtua Didik PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), h.26.

[5] Howard Gardner, Multiple Intelligences: Kecerdasan Majemuk, Teori dalam Praktek, terj. Alexander Sindoro, (Batam: Interaksara, 2003), hlm. 34

[6] Alfie Kohl, Website Alfie Kohl,  Articles: Progressive Education, Why It’s Hard to Beat, But Also Hard to Find By Alfie Kohn  (https://www.alfiekohn.org/article/progressive-education/) diakses: 26 September 2023 jam: 20:34 Wita.

[7] Kompasiana, Artikel: Hidup adalah Penemuan Bakatmu, https://www.kompasiana.com/yudiyuda8644/6464bf124addee3fbf3a60e2/hidup-adalah-penemuan-bakatmu , diakses: 26 September 2023 jam: 20:20 Wita.


DAFTAR PUSTAKA

Yuberti, Dr. MPd, Teori Pembelajaran dan Pengembangan Bahan Ajar Dalam Pendidikan, Penerbit:  Anugrah Utama Raharja (AURA), Cetakan Agustus 2014. (file:///J:/Downloads/TEORIBELAJARDANPEMBELAJARAN.pdf)

Nurhadi, Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya Dalam KBK ( Malang: Universitas Islam negeri Malang, 2004).

(http://etheses.uin-malang.ac.id/4795/1/04110196.pdf)

Montessori, Metode Montessori, Panduan Wajib Untuk Guru Dan Orangtua Didik PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Edited by Gerald Lee Gutek. Cetakan II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. (https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/31810/17422121%20Laily%20Nur%20Hidayati.pdf?sequence=1&isAllowed=y)  h.62

Howard Gardner, Multiple Intelligences: Kecerdasan Majemuk, Teori dalam Praktek, terj. Alexander Sindoro, (Batam: Interaksara, 2003)                                                         

(http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/2445/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf)

 

 TERJEMAH:

Motivasi intrinsik: Ketika mempertimbangkan (atau mempertimbangkan kembali) kebijakan dan praktik pendidikan, pertanyaan pertama yang mungkin ditanyakan oleh para pendidik progresif adalah, “Apa pengaruhnya terhadap minat belajar siswa, keinginan mereka untuk terus membaca, berpikir, dan bertanya?” Tes yang tampak sederhana ini membantu menentukan apa yang siswa akan dan tidak akan diminta untuk melakukannya. Oleh karena itu, praktik konvensional, termasuk pekerjaan rumah, nilai, dan ujian, terbukti sulit dibenarkan bagi siapa pun yang serius dalam mengembangkan disposisi jangka panjang dibandingkan sekadar meningkatkan keterampilan jangka pendek. 

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Silakan Download pada link disamping ini: DOWNLOAD PDF

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------





Top of Form